Langsung ke konten utama

EMPAT PILAR

I GEDE DARMAWAN
EMPAT KESUNYATAAN MULIA
( CATTARI ARIYA SACCANI )
“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa “

Salam Damai dan Cinta Kasih … ,
Empat Kesunyataan Mulia ( Cattari Ariya Saccani ) adalah ajaran Sang Buddha mengenai fakta yang tak dapat dibantah yang berhubungan dengan alam kehidupan manusia. Kesunyataan ini dalam bahasa Pali disebut : ARIYA SACCANI. Disebut begitu karena diungkapkan oleh seorang Ariya Agung, Sang Buddha Gotama. Saccani, Sacca, berarti apa yang sesungguhnya. Dalam bahasa sanskerta disebut Satya, artinya fakta yang tak dapat dibantah.
Empat kesunyataan mulia tersebut adalah :
1. Dunia ini adalah Penderitaan ( Dukkha Sacca : Kebenaran tentang Dukha )
2. Sebab penderitaan adalah Nafsu Keinginan ( Tanha ) -> Samudaya Sacca.
3. Berakhirnya Penderitaan ( Nibbana ) -> Nirodha-Sacca
4. Jalan Menuju Berakhirnya Penderitaan ( Ariya Athangika Magga ; Jalan Arya / Mulia beruas Delapan ) -> Magga-Sacca.
1. Kesunyataan Mulia Pertama : Dunia Ini adalah Penderitaan ( Dukkha )
Alam semesta dan seluruh alam kehidupan adalah suatu keberadaan yang berkondisi, paduan dari unsur-unsur, sehingga tidak kekal, terserang kelapukan, kehancuran, dan oleh karena itu penuh penderitaan. Tubuh kita ini ( Pali : Rupa ) hanyalah paduan keempat unsur alam semesta :
1). Air,
2).Tanah,
3).Api, dan,
4).Udara.
Kemudian, sesuatu yang oleh manusia umumnya disebut “Jiwa” ini ( Pali ; Nama ) hanya merupakan paduan empat unsur :
1). Pikiran,
2).Perasaan,
3).Pencerapan, dan,
4).Kesadaran.
TILAKHANA
Untuk mengerti lebih jauh mengenai kasunyataan mulia yang pertama, bahwa hidup di alam manapun sejatinya hanyalah ‘dukkha’, kita harus mengerti terebih dahulu tiga sifat dunia / tiga corak keberadaan yang berkondisi ( Tilakhana ). Sabda Sang Buddha yang mengajarkan mengenai Tilakhana ini, yang sangat terkenal, berbunyi sebagai berikut :
“Para Bhikkhu, walau dengan hadirnya Sang Tatthagata atau tanpa hadirnya seorang Tatthagatha, tetaplah berlaku suatu hukum, suatu kesunyataan yang mutlak bahwa segala sesuatu yang terbentuk adalah tidak kekal,… tidak memuaskan,…dan tanpa inti ….” (Angutara Nikaya, Yodhajiva-Vagga, 124).
Sabda tersebut, adalah mengenai tiga hal berikut ini :
1. “ Sabbe Sankhara Anicca “, Segala sesuatu yang berkondisi/bersyarat adalah tidak kekal ( ANICCA ).
2. “ Sabbe Sankhara Dukkha “, Segala sesuatu yang berkondisi/bersyarat adalah penderitaan (DUKKHA).
3. “ Sabbe Dhamma Anatta “, Segala sesuatu baik yang yang Berkondisi/Bersyarat ( tercipta ) maupun yang Tidak-Berkondisi / Tidak-Bersyarat ( tidak-tercipta ), tidaklah mempunyai inti diri yang sejati / jiwa didalamnya ( ANATTA ).
Ti-Lakkhana atau tiga corak umum adalah tiga sifat yang menjadi ciri keberadaan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta selalu bersifat tidak kekal (Anicca), tidak memuaskan atau menimbulkan penderitaan (Dukkha) dan tanpa inti yang kekal (Anatta).
1.1 ANICCA ( Sanskerta : ANITYA )
“Adalah tidak kekal segala sesuatu yang terbentuk, segalanya muncul dan lenyap kembali. Mereka muncul dan kembali terurai. Kebahagiaan tercapai bila segalanya telah harmonis.” (Digha-Nikaya, Mahaparinibbana Sutta).
Segala sesuatu adalah bersifat tidak kekal karena bersifat muncul, berubah, dan hancur. Artinya adalah bahwa segala sesuatu tak pernah berada dalam keadaan yang sama di saat yang berbeda, melainkan senantiasa muncul dan lenyap dari saat ke saat. Hukum Anicca merupakan sifat dasar dari segala fenomena, baik yang bersifat material ataupun mental, berlaku terhadap partikel-partikel sub atom yang kecil hingga sistem tata surya dan galaksi yang maha besar.
Bahwa segala sesuatu berubah adalah kesunyataan bagi setiap eksistensi, maka kita harus melihat keberadaan alam semesta ini sebagai suatu fenomena atau gejala yang kompleks. Pengertian ini hendaknya juga menjadi dasar pengertian kita mengenai Lakkhana ( Corak Keberadaan ) yang lain yaitu Dukkha ( Penderitaan ) dan Anatta ( Tiada-Inti-Diri ) . Oleh karena setiap eksistensi berada dalam perubahan yang konstan dari saat ke saat. maka tidak akan ada ‘diri’ yang akan merekat padanya. Sebenarnya sifat individual pada setiap eksistensi bukanlah suatu bentuk yang khusus melainkan merupakan perubahan itu sendiri. Tidak adanya sifat individual yang khusus pada setiap perwujudan inilah yang merupakan kesunyataan tentang Nibbana ( Sanskerta : Nirvana, Nir = Tanpa, Vana = Keinginan, secara harafiah artinya = tanpa-keinginan, meskipun definisinya lebih luas dari dua suku-kata tersebut ). Bila kita menyadari kesunyataan yang abadi tentang ketidak kekalan dan kita mendapatkan kedamaian di dalamnya maka pada saat itu juga sebenarnya kita telah berada dalam keadaan Nibbana / Nirvana.
Tanpa menerima kenyataan bahwa segala sesuatu itu berubah, kita tidak dapat memahami kedamaian yang sempurna. Oleh karena kita sulit memahami kesunyataan dari ketidak kekalan inilah maka kita menderita. Jadi salah satu penyebab dari penderitaan adalah penolakan kita terhadap kesunyataan ini. Kebahagiaan hidup tercapai apabila di dalam hidup ini kita bisa menerima hukum kesunyataan sebagaimana adanya dan hidup harmonis sesuai dengan hukum itu. Menyesali usia tua, takut akan kematian, dan menyesali perubahan-perubahan benda-benda fisik maupun mental di sekeliling kita adalah suatu kebodohan. Keterikatan terhadap keadaan-keadaan tertentu juga merupakan kebodohan yang menjadi dasar dari Dukkha.
Sebenarnya pembahasan terhadap hukum Anicca bukan untuk menimbulkan sifat pesimis bahwa segala sesuatu itu berubah-ubah dan kita semuanya hendaknya meninggalkan kehidupan dunia ini segera, tidak begitu. Kesunyataan akan ketidak kekalan ini sebenarnya dibahas agar kita memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan oleh karena itu tidak terikat kepada bentuk-bentuk atau keadaan-keadaan tertentu; agar kita dapat menghadapi segala sesuatu dengan hati yang tenang dan lapang. Dengan pemahaman kita akan kesunyataan ini diharapkan kita dapat memusatkan perhatian dan energi kita pada setiap aktifitas kita di sini dan di saat ini juga; di tengah-tengah badai dapat ditemukan kedamaian; di tengah-tengah arus ketidak kekalan dan perubahan yang terus-menerus, kita dapat juga menemukan kedamaian.
Segala sesuatu didunia ini dilahirkan, segala sesuatu menjadi sasaran kelahiran (jati), sebagai akibatnya setiap yang dilahirkan pasti akan lapuk (jara), mengalami sakit-penyakit (vyadhi), dan akhirnya mati (marana). Karena itulah semuanya tidak kekal. Inilah anicca, inilah ketidakkekalan. Muncul, melapuk, hancur/lenyap. Demikianlah lautan samsara yang kita arungi.
Kita sangat suka berpikir dan berangan-angan bahwa kita dapat memiliki sesuatu untuk selamanya. Tetapi ternyata hal tersebut adalah bertentangan dengan kebenaran sejati, yakni bahwa tidak ada yang kekal dan abadi didunia ini. Setiap kelahiran memiliki waktunya sendiri untuk mati. Termasuk bagi makhluk manusia, kelahirannya hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Lama tidaknya umur seorang manusia tergantung timbunan kammanya yang dia bawa dari kehidupan-kehidupan lampaunya. Kebajikan dan kesusilaan dikehidupan-kehidupan yang terdahulu akan menghasilkan umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan material dan spiritual dikehidupan ini.
Lahir, menua, berpenyakit, mati, kemudian, lahir kembali, menua kembali, berpenyakit kembali, dan, mati kembali, kemudian…, lahir kembali, menua kembali, dan seterusnya, dan seterusnya. Tak henti-hentinya kita mengalami seluruh proses yang penuh penderitaan tersebut didalam lautan samsara ini.
Kita berharap kesehatan, kecantikan, ketampanan, keindahan tubuh kita ini kekal. Kita berusaha segenap tenaga menjaganya. Namun keinginan kita bertentangan dengan hukum alam, dengan kebenaran sejati, bahwa semua yang berkondisi adalah tidak kekal. Kita berharap untuk tidak sakit, tapi tetap sakit. Kita berharap untuk menjadi tua, tapi tetap tua. Kita berharap untuk tidak mati, tapi tetap mati.
Kita berharap bisa memiliki harta benda kekal selamanya. Tapi tetap saja kelak kita akan kehilangan sebagian atau seluruh harta kita dan sangat mungkin kita jatuh miskin, jika kamma buruk kita berbuah. Kita berharap memiliki seseorang yang kita kasihi selamanya, tapi itu tidak sesuai hukum alam, karena suatu saat kita pasti kehilangan dirinya, entah karena kematian, bencana alam, perpisahan karena sudah tidak ada kecocokan, atau karena orang yang kita kasihi tersebut berselingkuh dan tidak sayang lagi kepada kita. Segala sesuatu didunia ini pasti akan lenyap, hancur, hilang, mati. Kita pasti akan kehilangan, kita pasti akan mengidap sakit-penyakit, kita pasti mati, inilah hukum alam.
1.2. DUKKHA
“Para Bhikkhu, apakah yang disebut Dukkha itu? Itu bukan lain adalah kelima kelompok kegernaran (Panca-Khandha), …. “ ( Samyutta Nikaya, Khandha Samyutta, 104)
Di dalam artikel ini kita akan membahas tentang Dukkha sebagai salah satu dari tiga corak umum yang menjadi ciri keberadaan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, terutama yang berhubungan dengan Panca Khandha ( Lima Agregat ( Unsur-unsur penyusun ‘diri’) ).
Pengertian kita tentang Dukkha tidak terbatas pada penderitaan saja. Dalam arti yang lebih luas, Dukkha bisa juga berarti ketidak-puasan, ketidak-sempurnaan atau ketidak-abadian. Agama Buddha tidak pernah menyangkal adanya kegembiraan atau kebahagiaan dalam hidup sehari-hari walaupun diakui bahwa salah satu ciri keberadaan dari alam semesta adalah Dukkha. Tetapi setiap kegembiraan itu adalah, bahkan dalam keadaan Jhana ( Suatu ‘alam’ pencapaian dalam Samadhi , kondisi yang membahagiakan, tenang, seimbang ) yang dicapai dengan meditasi tingkat tinggi, yang telah bebas dari pencerapan suka dan duka pun masih tetap berada dalam ciri keberadaan Dukkha.
Tidak seperti ciri keberadaan ( Lakkhana ) yang lain seperti Anicca dan Anatta yang mudah diterima secara obyektif, Dukkha-Lakkhana sulit diterima begitu saja oleh manusia karena secara obyektif sulit bagi kita memahami bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah menimbulkan penderitaan dan ketidak puasan. Sebab banyak sudut pandangan dan situasi dari manusia yang memandangnya yang menimbulkan perbedaan pandangan secara subyektif bahwa keadaan itu menimbulkan suka dan duka. Pandangan tentang Dukkha dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu:
1. Dukkha-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai penderitaan yang biasa atau Dukkha yang dialami manusia secara langsung pada fisiknya melalui panca indera dan pada perasaannya. Penderitaan pada kehidupan manusia seperti lahir, sakit, usia tua, berkumpul dengan orang yang tidak disenangi, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan dan lain-lain termasuk dalam kelompok Dukkha ini.
2. Viparinama-Dukkha, yaitu Dukkha sebagai akibat dari perubahan. Segala keadaan yang menyenangkan manusia adalah tidak kekal dan selalu berubah dari saat ke saat. Perubahan ini biasanya menimbulkan penderitaan atau kemurungan.
3. Sankhara-Dukkha, yaitu Dukkha yang timbul akibat kondisi- kondisi yang selalu bergerak atau berubah-rubah. Dukkha inilah yang berhubungan dengan lima kelompok kegemaran (Panca-khandha).
Dukkha sebagai penderitaan biasa banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dukkha sebagai akibat dari perubahan juga pernah kita bahas di Anicca-lakkhana di mana ditekankan bahwa perubahan itu sendiri sebenarnya tidak identik dengan Dukkha; bahwa manusia menderita adalah akibat mereka tidak memahami bahwa segala sesuatu pada hakekatnya berubah; bahwa manusia menderita karena merindukan keabadian. Pada sub-bab Dukkha-lakkhana ini kita akan membahas Dukkha sebagai perwujudan dari lima kelompok kegemaran.
Segala sesuatu yang berkondisi pasti penuh dukkha. “Du”, artinya “kosong”, sedang “Kha” artinya “rendah”. Segala sesuatu yang berkondisi pasti kosong dan rendah, kosong dari kekekalan, kosong dari keabadian, kosong dari kebahagiaan sejati. Karena tidak kekal, maka segala sesuatu yang berkondisi adalah ‘dukkha’, kosong, dan penuh derita. Karena tidak kekal, karena berubah-ubah, kita bersedih, kita menderita. Karena terserang penyakit, kita menderita. Karena mengalami kelapukan / usia tua, kita bersedih, kita menderita. Karena mengalami kematian, kehilangan, kita menderita, kita berdukkha.
1.3. ANATTA ( Sanskerta : AN-ATMAN )
“Hanya Dukkha yang terjelma, tiada seorang penderita pun yang berada; segala perubahan terjadi, tetapi pembuat perubahan itu tidak tertemukan; ada Nirvana, tetapi tak seorangpun yang memasukinya; Ada jalan, tetapi tak seorang pengunjungpun yang melewatinya. “
(Visuddhi Magga. XVI).
Pada pembabaran kasunyataan mengenai Anatta ( Sanskerta : An-atman ; Tiada-Inti-Diri ) dijelaskan bahwa tidak ada suatu diri atau ego yang kekal yang merekat di dalam ataupun di luar segala fenomena fisik dan mental dari setiap eksistensi atau keberadaan; bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar proses-proses itu sendiri.
Memang sepintas lalu kita bisa melihat adanya suatu diri atau sifat yang menjadi ciri keberadaan dari suatu bentuk atau fenomena (gejala-gejala alam). Memang suatu wujud, jelmaan atau fenomena itu mempunyai diri atau ciri khasnya yang menjadi sifat alamiahnya. Tetapi apabila wujud atau fenomena itu terurai menjadi unsur-unsur pembentuknya, maka tiada satupun dari unsur-unsur itu yang menjadi ciri atau diri wujud yang semula dan tiada satupun dari unsur-unsur itu yang mewarisi ‘diri’ dari wujud yang semula itu. Masing-masing unsur itu memiliki ciri atau diri masing-masing yang menjadi sifat alamiahnya yang juga tanpa inti yang kekal dan akan sirna apabila terurai lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil atau apabila bersenyawa kembali dengan unsur-unsur lain membentuk suatu wujud, jelmaan atau fenomena yang lebih besar dengan sifat atau diri yang lain pula dari diri yang semula.
Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha ( lima agregat penyusun ‘diri’ ) melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar. Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun dalam bentuk semesta yang lebih besar. Yang ada hanyalah diri atau sifat vang sementara, yang senantiasa berubah dari saat ke saat. Suatu saat akan terbentuk diri dari suatu individu; di saat lain diri itu mungkin terurai menjadi diri-diri unsur-unsur pembentuknya yang juga terbentuk dari unsur-unsur lainnya yang memiliki diri masing-masing yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah; bisa pula di saat lain diri suatu individu itu bersatu dengan diri dari individu-individu yang lain membentuk suatu organisasi dengan diri atau ciri yang lain pula yang juga tidak kekal dan senantiasa berubah.
Saya coba memberi perumapamaan. Seorang laki-laki yang sedang mengintip seorang perawan yang sedang mandi di sungai, selama ‘pengintaiannya’, ia bisa sangat memahami bahwa : air-sungai tempat si perawan mandi itu mengalir, berubah-ubah, angin berhembus kekanan-kekiri, lemah dan kencang, daun-daun berguguran, ranting-ranting banyak yang patah, debu-debu beterbangan kearahnya, waktu berjalan, langit berubah, tadi terang, kemudian meredup… Itu semua adalah perubahan, ketidakkekalan ( Anicca ( Sanskerta : Anitya ). Tapi laki-laki itu tidak pernah bisa menyadari bahwa si-perawan itupun, yang dia amati selama bermenit-menit, dalam setiap detiknya, telah pula mengalami perubahan, baik didalam ‘rupa’ ( tubuh ), maupun ‘nama’ ( unsur ‘jiwa’ ). Dan bahkan, si pengamat itupun , si laki-laki sendiri, telah mengalami perubahan setiap detik yang dilaluinya! Dalam ilmu biologi ini lebih bisa dijelaskan, betapa setiap waktu kita telah kehilangan berapa juta sel penyusun tubuh kita. Iklan minuman-energi yang menggambarkan dalam setiap gerak, olahraga, aktivitas-kerja, kita telah mengalami begitu banyak ‘kematian’, kematian dari sel-sel, sesungguhnya telah dengan sangat jelas dan tepat menerangkan mengenai ‘Anicca’. Demikian pula sesungguhnya, setiap detik kita telah mengalami banyak kematian, kematian dari tiap bentuk pikiran kita, tiap bentuk, perasaan kita, pencerapan kita, dan kesadaran kita. Sehingga, dalam ajaran ‘peziarah’ spiritual ada ungkapan ‘eling’ lan ‘waspada’, karena kalau kita tidak ‘eling’ lan ‘waspada’, setiap detik kita bisa terjerembab dalam ‘ketidak-benar’-an dan ‘ketidak-baik’-an.
Segala bentuk, wujud, keadaan. jelmaan adalah tidak kekal dan senantiasa berubah. Segala sesuatu yang tidak kekal itulah yang merupakan Dukkha. Segala bentuk, wujud, keadaan, jelmaan adalah tanpa inti atau diri yang kekal. Segala bentuk atau jelmaan individu memang memiliki sifat dan ciri tersendiri. Mereka mempunyai sifat asal yang terbentuk dari organisasi unsure-unsur pembentuknya yang lebih halus. Bentuk atau jelmaan individu itu tergantung pada kondisi-kondisi dari sifat atau diri lain yang juga tidak kekal, yang akan secara bersama-sama tergerak dalam rantai sebab akibat yang saling bergantungan (Paticca Samuppada). Manusia menderita di dalam hidupnya apabila ada penolakan terhadap kesunyataan bahwa segala sesuatu yang terbentuk itu adalah tidak kekal, senantiasa berubah dan tanpa inti yang kekal. Kebahagiaan tercapai apabila kita telah bisa memahami hukum itu dan memahami segala sesuatu sebagaimana adanya dan dapat hidup harmonis dengan segala kesunyataan.
Segala bentuk individu hanyalah suatu bentuk kombinasi unsur-unsur fisik dan mental, yang senantiasa berubah dan berada dalam keadaan Dukkha, di mana unsur-unsur yang membentuk suatu diri atau karakater individu itu adalah terdiri dari lima kelompok atau agregat yang disebut Panca Khandha. Panca Khanda atau lima agregat atau lima kelompok kegemaran itu oleh Sang Buddha diuraikan sebagai berikut:
1. Rupa-khanda, yaitu kelompok objek fisik atau jasmani yang oleh Sang Buddha diurai lagi menjadi empat bentuk elemen (Catur Maha Bhuta) yaitu: elemen padat (Pathavi Dhatu) yang sebenarnya memberikan sifat atau kemampuan menempati ruang dan mempertahankan posisi serta memberikan sifat kaku pada setiap materi; elemen cair (Apo-Dhatu) yang sebenarnya berupa gaya rekat atau tarik menarik antara materi; elemen panas atau energi (Tejo-Dhatu) yang sebenarnya memiliki sifat maha bhuta yang lain tetapi dalam dimensi yang lebih kecil; dan elemen gerak atau getaran (Vayo-Dhatu) yang bila berada dalam kesetimbangan dengan apo-dhatu akan menampakkan eksistensi pattiavi materi yang bersangkutan. Termasuk kelompok Rupa-khanda ini juga terdapat turunan-turunan atau bentuk variasi dari empat Maha Bhuta tadi yaitu mencakup organ-organ indera (pasada-rupa) beserta objek-objeknya (arammana) misalnya bentuk dan warna sebagai objek penglihatan oleh mata; bunyi dan suara sebagai objek pendengaran telinga; bau-bauan sebagai objek penciuman oleh indera penghidu; cita rasa sebagai objek pengecapan oleh lidah; benda-benda dengan berbagai variasi bentuk, temperatur, permukaan kasar atau licin, keras atau lembut, sebagai objek perabaan oleh indera peraba; dan objek- objek mental seperti pikiran, ingatan, konsep dan ide-ide sebagai objek pemikiran oleh indera mental kita. Jadi Rupa-khanda sebenarnya mencakup obyek-obyek di dalam maupun di luar diri kita beserta indera-indera yang dapat berkontak dengannya.
2. Vedana-khanda, yaitu perasaan-perasaan yang timbul akibat adanya kontak antara obyek-obyek indera dengan indera-indera kita tadi. Perasaan-perasaan yang timbul itu bisa berupa perasaan senang, tidak senang, atau netral. Perasaan-perasaan ini timbul sebagai reaksi kontak tadi yang dihubungkan dengan ingatan-ingatan, baik yang berbentuk insting bawaan ataupun yang didapat dari pengalaman-pengalaman.
3. Sanna-khanda, yaitu pencerapan atau pengenalan objek yang terjadi setelah terjadinya kontak dan setelah terjadinya kesadaran akan adanya obyek tersebut. Pencerapan atau pengenalan objek tersebut juga terjadi akibat adanya memori atau ingatan-ingatan, terutama yang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman.
4. Sankhara-khanda, yaitu bentuk-bentuk pikiran yang berupa segala kehendak (cetana) yang terjadi setelah timbul perasaan-perasaan akibat kontak yang terjadi. Kehendak-kehendak (cetana) yang terjadi inilah yang kelak akan membuahkan karma berupa perbuatan-perbuatan yang dilakukan, baik yang dilakukan dengan badan jasmani, ucapan, maupun dengan pikiran, yang mengarah kepada perbuatan baik, jahat atau netral.
5. Vinnana-khanda, yaitu kesadaran yang timbul akibat indera mengadakan kontak dengan. obyek yang sesuai. Kesadaran ini timbul sebelum terjadinya proses pencerapan atau pengenalan obyek yang kemudian menimbulkan perasaan-perasaan yang kemudian bisa berakhir dengan reaksi mental berupa kehendak untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan obyek tersebut.
Dari kelima khanda tersebut. tidak satupun yang dapat dikatakan sebagai diri atau ciri dari suatu individu, tetapi apabila kelima khanda itu saling berhubungan dan bekerja sama, maka akan terasa seakan-akan ada suatu diri yang menjadi ciri dari suatu individu atau keadaan tertentu. Jelmaan yang terbentuk oleh kombinasi kelima khanda itulah yang tak lain merupakan Dukkha itu sendiri, Dukkha yang mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar duka atau penderitaan: Dukkha yang mencakup segala kefanaan, perubahan dan ketidak kekalan. Tidak ada suatu jelmaan atau diri yang berada di balik kelima khanda ini, tak ada suatu jelmaan atau diri yang mengalami Dukkha ini sebab panca khanda itu sendiri merupakan Dukkha dalam arti yang luas itu, dan di dalam Dukkha yang rnempunyai arti yang luas inilah terdapat kehidupan, kehidupan yang tak lain merupakan perubahan itu sendiri. Dukkha, kehidupan. dan perubahan sebenarnya bukanlah hal berbeda.
Di dalam pengertian Sankhara-Dukkha, seperti yang sudah diterangkan diatas, ditekankan bahwa tidak ada suatu diri atau atta ( Sanskerta : Atman ) yang berada di balik Panca Khanda ini yang akan merasakan Dukkha; bahwa Dukkha itu timbul akibat kondisi-kondisi yang tercakup di dalam kelima Khanda ( agregat ) itu yang selalu bergerak dan berubah-ubah bahwa tidak ada sesuatupun yang berada di luar kondisi-kondisi yang berubah-ubah itu yang menggerakkan atau yang menyebabkan perubahan-perubahan itu; bahwa yang ada hanyalah perubahan-perubahan itu sendiri. Sebagai contoh dari proses-proses pergerakan kondisi-kondisi yang selalu berubah-ubah itu adalah rentetan peristiwa sebagai berikut:
Oleh rentetan kondisi-kondisi yang sebelumnya, pada javana-javana ( Dalam istilah modern disebut : Apersepsi, tanpa-persepsi, secara harafiah berarti : berlari ) menjelang kesadaran sebelum kematian (cuti-citta) terbentuk janaka-kamma ( karma-penghasil, yaitu : karma baik atau buruk yang menonjol pada saat kematian ) yang menentukan nama-rupa dan keadaan seorang manusia yang kemudian dilahirkan dengan indera-indera yang lengkap yang dapat mengadakan kontak dengan objek berupa empat Maha Bhuta ( empat-unsur / elemen : Tanah, Air,Api,Udara ) beserta derivat-derivatnya yang juga terbentuk oleh kondisi-kcndisi sebelumnya. Oleh kondisi-kondisi itu, seorang manusia mampu menangkap objek-objek berupa bentuk, cahaya dan warna, getaran-getaran dan bunyi-bunyian, uap-uap atau partikel gas atau cair atau padat yang berbau dan bercita rasa, dan objek-objek berupa gelombang-gelombang atau gerak-gerak ide dan pikiran. Bila oleh suatu kondisi, Patisandhi Vinnana ( kesadaran-penyambung atau tumimbal-lahir ) telah menyambung dan sifat dualitas (pembedaan antara subyek dengan obyek) telah terbentuk maka manusia itu mempunyai kesadaran (Vinnana) bila terjadi kontak antara suatu objek dengan indera-inderanya yang sesuai.
Oleh kondisi Rupa Khanda ( agregat-Rupa / agregat-tubuh ) yang telah berkontak dengan manusia yang telah bersifat dualitas itu, timbul kesadaran akan adanya suatu bentuk dan warna, bunyi-bunyian atau suara, bau dan cita rasa, ide-ide dan bentuk-bentuk mental. Bila telah ada suatu kondisi di mana terdapat ingatan-ingatan bawaan lahir (Patisandhi Vinnana) maupun ingatan-ingatan yang berupa pengalaman-pengalaman sesudah lahir, maka manusia itu dapat mencerap objek-objek itu dan dikenali sebagai suatu bentuk benda tertentu misalnya sebuah bola, suara genta, bau buah-buahan, dan lain-lain. Atau mencerap objek-objek itu sebagai sesuatu yang belum dikenal ke dalam ingatan-ingatan.
Oleh kondisi-kondisi setelah terjadi pengenalan objek atau pencerapan (Sanna) dan oleh kondisi-kondisi di dalam ingatan maka timbul perasaan-perasaan (Vedana) terhadap objek-objek tadi berupa perasaan suka, tak suka, atau netral.
Oleh kondisi-kondisi setelah timbulnya perasaan-perasaan dan oleh kondisi-kondisi di dalam ingatan berupa kebiasaan dan pengalaman, maka timbul bentuk-bentuk mental (Sankhara) berupa kehendak (cetana), pikiran, rencana, atau keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan terhadap objek tadi. Dengan munculnya kehendak (Cetana) tadi maka akan berlanjut rentetan perbuatan karma yang bisa meneruskan lingkaran-lingkaran perubahan kondisi kelima Khanda itu kembali. Seluruh rentetan perubahan kondisi itulah yang dimaksud dengan Dukkha (Sankhara Dukkha).
Rupa Khanda (4 Maha Bhuta, empat unsure penyusun ‘tubuh’ ) adalah perwujudan dari hukum Anicca yang berlaku di seluruh alam semesta. Setiap bentuk elemen atau unsur itu beserta derivat-derivatnya hanyalah merupakan satu wujud tertentu dari hukum Anicca tadi.
Vinnana Khandha ( bentuk kesadaran ) adalah salah satu perwujudan dari Patisandhi Vinnana ( kesadaran-penyambung ) yang selain membentuk kemampuan untuk menyadari obyek yang berkontak dengan indra, juga membentuk bakat, kecerdasan, kebiasaan-kebiasaan, penyakit-penyakit bawaan, kegemaran atau hobbi dan lain-lain.
Sanna Khandha ( unsur pencerapan ) lebih dipengaruhi oleh ingatan-ingatan atau pengalaman setelah lahir dan berfungsi menganalisa obyek-obyek paramattha untuk dikenali sebagai obyek pannati. Vedana Khandha merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi berupa ingatan-ingatan bawaan (Patisandhi Vinnana) dan pengalaman-pengalaman setelah lahir.
Sankhara Khandha ( bentuk-bentuk mental / pikiran ) juga merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi berupa ingatan-ingatan bawaan dan kebiasaan-kebiasaan setelah lahir, tetapi kebijaksanaan dan pandangan yang benar dari hasil pendidikan, pengalaman-pengalaman dan latihan dapat mendominasinya.
Tidak semua kontak antara indera dengan obyek bisa sampai kepada timbulnya Cetana dan Karma. Ada kontak yang hanya sampai pada kesadaran, tetapi tidak sampai pada pencerapan. Ada kontak yang telah tercerap tetapi tidak menimbulkan perasaan. Ada kontak yang telah menimbulkan perasaan tetapi kebijaksanaan pikiran dan pandangan yang benar dapat mencegah timbulnya rentetan keinginan atau kehendak beserta perbuatan yang menyertainya.
Mari kita mengulang sejenak Sabda Sang Budha, “ SABBE DHAMMA ANATTA”, artinya : Segala sesuatu, baik yang berkondisi ( tercipta ) maupun tidak berkondisi ( tidak-tercipta ) itu tidak memiliki inti diri / jiwa.Jiwa, dalam ilmu pengetahuan modern, dapat kita ketahui definisinya dalam kamus Abingdon Dictionary of Living Religions adalah : “ Sesuatu yang memberi kehidupan kepada makhluk hidup; atau bagian atau dimensi dalam makhluk hidup, merupakan INTI, tidak berbentuk; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun menghidupkan; atau sesuatu yang tidak berbentuk namun MENCIPTAKAN MAKHLUK INDIVIDU “.
Dalam The International Dictionary of Religion : “ Banyak agama mengajarkan bahwa manusia tersusun atas badan fisik yang bisa mati serta INTI yang tidak kasat mata dan KEKAL, yang merupakan jati diri atau JIWA “.
Jiwa dikenal dengan banyak nama : “Jiva” ( Jain ), “Atman” ( Hindu ), “Ruh” ( Islam ), Monad, Ego Diri, Diri yang lebih tinggi, sesuatu yang melebihi diri, diri yang tidak dapat dipahami , batin, atau bahkan pikiran.
Jiwa juga dipahami sebagai : “ Segala sesuatu yang secara mutlak dipandang sebagai keberadaan diri, sosok ego, atau SUBSTANSI POKOK YANG BERSIFAT KEKAL “.
Diri , Jiwa juga bisa diartikan sebagai bagian terbaik dari tubuh ini, inti, yang merupakan sari, bagian yang murni, sejati, indah, kekal, tak lekang oleh waktu.
Dalam kitab kuno India milik kaum Brahman / Hindu, yaitu kitab Kena Upanishad, dikatakan bahwa sesuatu yang disebut “ Jiwa “, “ Inti Diri “, “ Roh “, HARUS MEMILIKI KUASA UNTUK MEMERINTAH.
Ditambahkan, Jiwa tidak menerima perintah dari penguasa lain, Jiwa adalah PENGUASA TERTINGGI, yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Jiwa adalah PENGUASA atau PEMILIK atas DIRI KITA. Jiwa BERBEDA DENGAN DIRI KITA NAMUN TINGGAL DIDALAM DIRI KITA.
Jiwa , yang disebut atman dalam kitab-kitab Hindu, adalah diri individual, dan identik dengan Diri Universal, Makhluk Tertinggi yang disebut Brahman. Atman tinggal didalam setiap makhluk hidup. Seperti halnya Brahman, atman adalah kekal.
Dari definisi tersebut, mari kita merangkum sifat-sifat “ Jiwa “ menurut pengetahuan konvensional yang dipahami oleh manusia pada umumnya tersebut : 1). Jiwa adalah INTI DIRI. 2). Jiwa adalah YANG MENCIPTAKAN DIRI INDIVIDU. 3). Jiwa bersifat KEKAL. 4). Jiwa TIDAK DAPAT DIPAHAMI. 5). BERKUASA UNTUK MEMERINTAH. 6). PENGUASA DAN PEMILIK diri kita. 7). BERBEDA DENGAN DIRI KITA NAMUN TINGGAL DALAM DIRI KITA.
Untuk menemukan, apakah dan siapakah “sejati”-nya “Aku” ini, kita harus masuk kedalam diri kita, melakukan pengamatan, melakukan penyelidikan, melalui cara yang ditunjukkan oleh Sang Buddha, yaitu Samma-Samadhi dan Samma-Sati. Melalui Samma-samadhi dan Samma-Sati, kita mengetahui, bahwa tubuh dan segenap yang ada padanya ini ternyata terdiri dari lima ( 5 ) agregat, lima penyusun : 1). Proses Materi, yaitu yang membentuk tubuh / rupa ( air, api, udara, tanah ), 2). Perasaan, 3).Pencerapan, 4). Bentukan mental, 5). Kesadaran.
Bilamana seluruh fenomena bathin dan jasmani ditelaah dalam unsur-unsur penyusunnya tersebut, ternyata tidak ditemukan adanya unit lain yang oleh manusia umumnya disebut sebagai INTI DIRI, JIWA, ROH, AKU.
Interaksi kelima kelompok energi dan unsur tersebut diatas mewujud sebagai ‘ego’ atau kepribadian. Namun, adakah ‘inti diri’ ? Bagaimana mungkin bisa dikatakan ada ‘inti diri’ jika ternyata hanya terdiri dari kelima kelompok energi dan unsur tersebut ? Dari Kelimanya, adakah yang menjadi INTI ? Tidak ada yang menjadi inti, karena kelima kelompok tersebut saling tergantung satu sama lain, tidak ada yang berdiri sendiri, yang terpisah, sebagai yang memerintah diri.
Singkatnya, ada perbuatan yang dilakukan oleh kelima kelompok tersebut, namun pelakunya, inti diri, yang terpisah, yang kekal, yang berbeda dari “ diri “ tersebut , TIDAK ADA. Perbuatan menyunting dan merangkum ajaran Sang Buddha di dalam blog ini, ada, tapi pelakunya, yang dikenal sebagai “ Ratana Kumaro “ , …. TIDAK ADA. Perbuatan memposting artikel di blog ini dilakukan oleh perpaduan, saling-ketergantungan, kerja-sama dari kelima penyusun tersebut diatas.
Secara konvensional, sebagai kesepakatan bahasa bersama untuk memahami, sebagai “ pengaran-aran “ ( Jawa ), sebagai PENYEBUT, interaksi antara energi dan unsur tersebut diatur oleh hukum sebab akibat, dan sekalipun sama sekali tidak ada jiwa atau diri, namun interaksi tersebut menghasilkan sesosok manusia, SESEORANG – jika kita menggunakan istilah “ orang “ untuk menggambarkan kombinasi proses jasmani dan bathin tersebut.
Artinya, sebagai “penyebut”, perawat blog ini adalah : RATANA-KUMARO / RATNA KUMARA / RATYA MARDIKA, namun inti diri / jiwa / roh-kekal yang disebut namanya tadi, TIDAK ADA.
Kombinasi rumit dari kelima kelompok penyusun ini sangat tergantung pada proses-proses yang terjadi sebelumnya, terutama kesinambungan KAMMA / KARMA / KEHENDAK, yang merupakan proses kehendak dan akibat dari kehendak tersebut ( Ini adalah hukum karma yang akan saya terangkan nanti ).
Jadi, perbedaan individu itu ada, diakui, tapi INTI DIRI, JIWA itu sendiri secara mutlak tidak ada.
Seorang pencipta lagu, misalnya, dikarenakan di masa lampau dia senantiasa melakukan perbuatan yang meninggalkan kondisi untuk terbentuknya perangai ( akibat kehendak / kamma / karma ) yang muncul saat ini.
Akan tetapi, hal tersebut terjadi karena kehendak / kamma / karma meninggalkan potensi yang memungkinkan munculnya daya cipta, bukan karena adanya DIRI / JIWA YANG KEKAL yang berdiam dalam “ seseorang “ pencipta lagu tersebut.
Sesungguhnya, tidak ada seseorang atau individu pun yang identik dari waktu ke waktu; semuanya adalah pergantian dari energi dan unsur, dan tidak ada yang bersifat kekal.
Pandangan umum sehari-hari seperti ruh, ego, diri, jiwa, kepribadian, seolah tampak begitu nyata, jelas, dan dapat didefinisikan dengan baik oleh para ahli jiwa modern ( psikolog ) dan orang awam lainnya; tapi secara mutlak dan bagi mereka yang telah mencapai pencerahan, semua hanyalah ilusi, dan, delusiv.
Dunia objek dan orang yang kita kenal, dunia ego dan keakuan, hanyalah bentukan konseptual yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri, hanya ilusi yang kita buat sendiri, bukan kebenaran sejati yang hakiki.
Semua gagasan konseptual, seperti DIRI, makhluk, atau orang, hanyalah fenomena mental dan material, yang bersifat fana, terkondisi, saling tergantung, dan TIDAK ADA INTI DIRI.
Jika kita ingin memahami inti diri yang diajarkan oleh ajaran kuno yang sebenarnya sudah usang ( namun masih banyak dipakai oleh orang-orang yang belum tercerahkan hingga sekarang ) , maka penggambarannya adalah sebagai berikut : INTI DIRI, menurut mereka adalah substansi pokok yang bersemayam dalam tubuh kita, berbentuk cahaya bulat, berdiam dalam mahkota kepala, masuk kedalam hati didada, yang tersambung oleh tali perak, berpusat pada Diri Tertinggi, Jiwa Absolut. Apakah ajaran ini dapat dibenarkan ? Adakah inti diri itu ? Jawabannya, ternyata, TIDAK ADA.
Anda mungkin ada yang bertanya, bagaimana dengan unsur dari “ jiwa “ yang disebut sebagai ‘kesadaran’ ? bukankah dia sepertinya kekal, dia sepertinya INTI DIRI ? Bukankah dia yang melihat, merasakan, dan lain-lainnya ?
Kesadaran, yang nampaknya kekal, ternyata ia hanyalah proses, arus berkesinambungan dari ‘CITTA’ ( suatu pergantian persitiwa mental individual yang bersifat SEMENTARA ) dan ‘CETASIKA’ ( Suatu kumpulan faktor-faktor mental yang kompleks ), yang keduanya berperanan khusus dalam pembentukan kesadaran. Dalam proses sinambung ini tidak terlibat adanya ‘diri’, ‘inti diri’, ‘jiwa’, ‘ruh’ , atau agen-agen lainnya.
Orang-orang yang menolak kebenaran mutlak mengenai tidak adanya Jiwa, sebenarnya didasari oleh rasa takut yang mendalam terhadap penolakan adanya Jiwa.
Orang-orang tersebut, seperti umumnya manusia lainnya, sangat melekat pada hidupnya, sehingga mereka cenderung untuk mempercayai adanya sesuatu yang bersifat tetap, kekal, abadi, didalam dirinya. Bila kemudian ada orang yang mengatakan bahwa tiada sesuatu apapun yang kekal dalam diri mereka, tidak ada semacam jiwa dalam diri mereka yang akan berlangsung selamanya, mereka lalu menjadi ketakutan.
Mereka bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan mereka di masa mendatang – mereka takut m u s n a h.
Namun, dengan mengatakan tidak adanya ‘Jiwa’, bukan berarti pula saya mengatakan bahwa setelah tubuh, raga, rupa, yang terdiri dari empat ( 4 ) unsur : air, api, udara, tanah, ini mati, “NAMA” ( pikiran, perasaan, pencerapan, dan, kesadaran ) atau yang secara konvensional / kesepakatan bersama disebut sebagai “Jiwa” akan musnah, tidak. Karena Energi “nama” ( pikiran, perasaan,pencerapan, dan, kesadaran ) akan bertumimbal lahir, lahir kembali kedalam alam-alam kehidupan sesuai kehendaknya ( karmanya ) sendiri. Kehendak baik, maka terlahir dialam yang baik, kehendak buruk, maka terlahir dialam yang buruk ( lihat artikel “Alam Semesta III ; Kosmologi Buddhis “ ).
Tidak kekal, namun tidak pula musnah. Kasunyatan tentang “ jiwa” adalah, terlahir kembali dengan patisandhi“ kesadaran yang berkesinambungan “, kesadaran tumimbal lahir yang tidak berpindah dari kehidupan sebelumnya, melainkan timbul karena adanya berbagai kondisi dari kehidupan sebelumnya, misalkan kondisi kamma / kehendak / karma.
Jadi, orang yang terlahir kembali bukanlah orang yang sama dengan orang yang telah meninggal sebelumnya, namun juga bukan orang yang sepenuhnya berbeda dengan yang telah meninggal sebelumnya itu.
Inti dari kebenaran sejati tentang “ jiwa “adalah, tidak ada tubuh ruh, tubuh illahi, tubuh jiwa, tubuh metafisik, yang sama, yang berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya.
‘Tidak Kekal’, namun juga ‘Tidak Musnah’, itulah kasunyataan tentang ‘Jiwa’ yang diyakini manusia sebagai ‘Ada’ untuk selamanya.
Kelima penyusun tersebut diatas tadi, bukanlah ‘inti diri’, bukanlah ‘jiwa’ , karena mereka semua fana, tidak memuaskan, tidak kekal, dan tidak punya kuasa untuk memerintah ( ingat definisi jiwa / roh menurut paham Hindu dan agama-agama lainnya ).
‘Rupa’ ( bentuk materi ) bukanlah inti diri, bukanlah ruh, bukanlah jiwa, bukan tuan dan pemilik serta pemerintah dirinya sendiri, dan terikat pula pada kesengsaraan. Jika ‘Rupa’ adalah inti diri, mengapa dia tidak punya kuasa untuk memerintah dirinya selalu sehat, berubah menjadi lebih tampan, dan kekal, kebal dari semua penyakit, kelapukan, dan kerusakan ?
‘Nama’ ( “ jiwa “ : pikiran, perasaan, pencerapan, kesadaran ), bukanlah jiwa, bukanlah inti diri, karena dia bukanlah substansi yang berbeda yang berdiam dalam Rupa ( bentuk materi ), ‘Nama’bukanlah pemilik tubuh, bukan penguasa atas tubuh, yang bisa memerintah tubuh untuk selalu kuat, tidak kenal lelah, tidak bisa tua, tidak bisa mati. Jika ‘Nama’ adalah Penguasa tubuh, berkuasa atas diri, mengapa dia tidak bisa memerintahkan tubuhnya untuk menjadi lebih baik, kekal, tidak terserang penyakit, kelapukan, kerusakan ? Mengapa ‘Nama’ tidak bisa memerintahkan segala perasaan menjadi kekal, baik perasaan suka, tidak suka, sayang, tidak sayang ? Mengapa pikiran, pencerapan, bahkan kesadaran pun tidak bisa diperintahnya untuk kekal ?
Karena berpikir bahwa dirinya benar-benar ada, maka orang menjadi ber-ego, menjadi tersinggung, menjadi marah, menjadi bersedih, menjadi menangis.
Pada saat dia disakiti seseorang yang lainnya, dia menangis, dia berpikir ego-nya terluka, padahal, SIAPA YANG MENYAKITI ? DAN, SIAPA YANG DISAKITI ? KEDUA-DUANYA : T I D A K A D A .
Seseorang yang kita anggap ada, hanyalah proses menjadi ( Inggris : ‘Being’ ) , proses saling ketergantungan dari unsur-unsur dan energi, dari material dan mental, dari rupa dan nama, tetapi ; TIDAK ADA INTI DIRI, TIDAK ADA ROH, DIRI, PRIBADI TINGGI didalam bentuk yang kita anggap sebagai “seseorang” tersebut.
Sebagai contoh : didepan kita ada benda yang secara konvensional kita sebut sebagai KOMPUTER, tapi adakah roh penggerak didalamnya ? adakah intinya sebagai sosok yang disebut ‘jiwa’ bagi komputer tersebut ? TIDAK ADA ! Yang ada hanyalah proses saling ketergantungan antara unsur-unsur dan energi, antara material dan energi listrik, proses-proses elektrik, selain unsur-unsur itu, kita tidak menemukan inti yang lain dari benda yang kita sebut komputer itu. Ini contoh yang sederhana, yang meskipun berbeda kasus dan bentuk, tapi cukup bisa menggambarkan topik ini didalam hati dan pikiran kita.
Memahami kebenaran mutlak tentang TIADA JIWA, TIADA INTI DIRI adalah fondasi bagi tercapainya PENCERAHAN SEMPURNA. Selama kita masih terselimuti kabut ilusi tentang JIWA, RUH yang kekal abadi, yang berpindah-pindah, maka kita tidak akan pernah mencapai PENCERAHAN SEMPURNA.
Teori tentang jiwa, tentang AKU, hanyalah menimbulkan kesombongan, keangkuhan, peperangan, pertengkaran, bermuara pada : PENDERITAAN.
Para petapa yang cerdas dan bijaksana tidak melihat adanya satu teori tentang jiwa yang tidak menyebabkan timbulnya kesedihan, ratapan, penderitaan, tekanan batin, dan kesengsaraan.
Secara tidak bijaksana, kita menginginkan segala sesuatu agar bersifat kekal, namun kita menyadari bahwa ternyata kita tidak punya kuasa, kendali, kewenangan terhadap segala sesuatu. Tiada inti diri, tiada jiwa, tiada ruh, tiada yang kekal, yang dapat kita temukan dalam fenomena apapun.
2. Kesunyataan Mulia Kedua : Sebab Dukkha / Penderitaan adalah ‘Nafsu-Keinginan’ ( TANHA )
Sebab dukkha adalah :
1). Keserakahan ( Lobha ) akan keindriyaan,
2). Kebencian / Kemarahan ( Dosa ),
3). Kebodohan batin ( Moha ).
Nafsu keinginan ( tanha ) mendera kita, mencambuk-cambuk kita, memaksa kita untuk memenuhi “kehendaknya”, kemudian kita berusaha mati-matian, berkorban apapun, lupa diri, lupa sanak-keluarga, lupa saudara, lupa sahabat, demi terpuaskannya nafsu keinginan.
Karena nafsu keinginan ini pulalah timbul kesedihan, karena nafsu keinginan ini pulalah timbul ketakutan, timbul keserakahan, timbul kemarahan, timbul kebencian, timbul peperangan, timbul perpecahan, dan semua hal yang menyebabkan penderitaan.
Dalam ajaran Buddha , diajarkan ada tiga ( 3 ) jenis nafsu keinginan, yaitu :
 Kama-tanha, yaitu nafsu keinginan akan kenikmatan indria. Contoh konkritnya adalah : nafsu keinginan untuk mengenyangkan perut hingga lupa pada manusia lainnya, nafsu keinginan untuk berhubungan sexual sehingga melanggar aturan-aturan,norma-norma masyarakat,nilai-nilai kemanusiaan, dan lain-lain.
 Bhava-tanha, yaitu nafsu keinginan akan kelangsungan atau kelahiran kembali. Contoh konkritnya yaitu, ingin terlahir kembali dan terus terlahir kembali untuk selalu hidup bersama kekasihnya, atau mungkin bertujuan untuk membalas dendam, dan lain-lain sebagainya.
 Vibhava-tanha, yaitu nafsu keinginan akan pemusnahan diri. Contoh konkritnya yaitu : keinginan untuk bunuh diri karena merasa tak sanggup menanggung beban hidup, keinginan untuk “moksa” demi tercapainya kesempurnaan spiritual., dan lain-lain sebagainya.
Hendaklah setiap orang menghentikan kemarahan dan kesombongan, hendaklah ia mengatasi semua belenggu, belenggu dari kekotoran batin, dari tiga akar kejahatan, penyebab kesengsaraan, yakni : Nafsu Keinginan, Keserakahan, dan Kebencian.
Manusia yang tidak lagi melekat pada semua hal duniawi, tidak lagi terikat pada batin dan jasmani, yang telah terbebas dari nafsu-nafsu, tak akan pernah menderita lagi, tak akan mengalami kematian lagi.
Setelah seseorang memahami sifat sunyata dari dunia : dukkha dan sebab dari dukkha, maka segera ia ingin menghentikan segala penderitaannya.
Tapi, apabila keinginan adalah salah satu penyebab dari penderitaan ( dimana penyebab lainnya adalah ketidak-tahuan / keserakahan ), bukankah seharusnya kita tidak usah berdaya-upaya untuk hal apapun juga ?
Adalah penting untuk menyadari bahwa Sang Buddha mengajarkan perbedaan antara keinginan yang tumbuh dari ketidaktahuan dan keinginan yang timbul atas dasar pengertian.
Sang Buddha sering mengatakan, bahwa kita seharusnya senantiasa bergairah ( adithana ), kita senantiasa bertekad ( tiibacchanda ), juga senantiasa mempunyai cita-cita yang kuat untuk mencapai Nibbana ( chandajato anakkate ).
Keinginan menjadi orang tua yang baik, keinginan menjadi teman yang setia, keinginan menjadi warga negara yang bertanggungjawab adalah keinginan-keinginan yang berdasar atas pengertian, dengan demikian akan menghasilkan kebaikan, bukannya penderitaan.
Apabila kehendak, keinginan dan cita-cita didasarkan atas pengertian, dan apabila kesemuanya itu diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari, dan bila semuanya diarahkan pada sasaran yang mulia, maka justru keinginan semacam itulah yang dianjurkan.
3. Kesunyataan Mulia Ketiga : Berakhirnya / Lenyapnya Dukkha : NIRVANA ( Pali : NIBBANA )
Berakhirnya dukkha secara sempurna adalah saat seseorang berhasil memadamkan ketiga akar penderitaan, yaitu keserakahan ( lobha ), kemarahan/kebencian ( dosa ), kebodohan batin ( moha ). Ketika ketiga akar dukkha ini padam, saat itulah seseorang mencapai NIRVANA.
Nirvana, berasal dari dua suku kata : 1). NI, berarti negasi / negatif, tanpa ; 2). VANA, berarti jalinan nafsu keinginan. Sehingga NIRVANA adalah suatu kondisi batin diluar duniawi ( lokuttara dhamma )yang penuh kebahagiaan sejati, kekal abadi, dan tanpa jalinan nafsu keinginan yang mendera.
Nirvana / Nibbana adalah keadaan diluar keduniawian ( Lokuttara Dhamma ), untuk disadari hanya oleh kebijaksanaan yang mendalam.
Pemahaman Nirvana / Nibbana yang hanya berdasarkan logika & intelektualitas semata adalah mustahil, karena Nirvana / Nibbana bukan suatu hal yang dicapai berdasar pemikiran yang logis. Ajaran Sang Buddha memang logis, masuk di akal, tapi Nirvana / Nibbana adalah berada diluar jangkauan logika.
Seorang rohaniwan yang memiliki kesaktian sekalipun belum tentu memahami Nirvana / Nibbana, karena Nirvana tidak ada kaitannya sama sekali dengan kesaktian yang bersifat harta duniawi. Nirvana / Nibbana bukan untuk di-logika, tetapi untuk dituju, dicapai, dijalani, dialami sendiri.
Nirvana / Nibbana adalah Kesunyataan Mulia yang Ketiga dari ajaran Empat Kesunyataan Mulia, yakni mengenai : Musnahnya Penderitaan ( dukkha nirodha ariya sacca ).
Pada kesunyataan mulia ketiga ini Sang Buddha menegaskan, mengajarkan, bahwa kita dapat bebas dari penderitaan dan mencapai kebebasan dan kebahagiaan Nirvana / Nibbana.
Nirvana / Nibbana adalah Kebahagiaan Tertinggi ( Nibbanam Paramam Sukham ).
‘Vana’ ; Keinginan bertindak sebagai suatu tali yang menghubungkan satu kehidupan dengan kehidupan yang lain.
Sehingga, disebut Nibbana / Nirvana , karena ketika mencapai kondisi ini, alam ini, maka terpisahlah sudah kita dengan jalinan keinginan yang mengikat kita dari satu kelahiran ke kelahiran berikutnya.
Itu sebabnya, ada ajaran yang hidup di masyarakat Jawa kuno untuk “ Ora penginan “ ( Tidak bersifat selalu ingin sesuatu ).
Selama seseorang terikat dengan keinginan atau kemelekatan, orang itu sama dengan menimbun kegiatan Kamma baru yang pasti terwujud dalam bentuk seseorang atau bentuk yang lain dalam lingkaran kelahiran dan kematian ( samsara ) yang terus menerus.
Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma berhenti bekerja, dan seseorang telah mencapai Nirvana / Nibbana ini, maka ia terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian.
Nirvana / Nibbana diterangkan sebagai pemadaman api keserakahan ( Lobha ) akan keindriyaan,kebencian ( Dosa ), dan Khayalan / kebodohan-batin ( Moha ).
“ Seluruh dunia terbakar,” Kata Sang Buddha. “ Dengan api apa dunia tersebut dinyalakan ? Dengan api nafsu keinginan, kebencian dan khayalan; dengan api kelahiran, usia tua, kematian, penderitaan, keluhan, kesakitan, kesedihan dan keputus-asaan dunia dinyalakan”.
Nibbana, dalam satu segi, diterjemahkan sebagai pemadaman dari api-api ini. Nibbana bukanlah “ tidak ada apa-apa “, melainkan pemadaman dari kesemua api tersebut diatas.Pemadaman dari api-api ini adalah cara satu-satunya, jalan tunggal, untuk mencapai Nirvana / Nibbana.
Sang Buddha menggunakan ungkapan-ungkapan lain untuk menggambarkan keadaan ini :
 Kelanggengan ( Amata )
 Pernaungan Yang Aman ( Khema )
 Kedamaian ( Santa )
 Perlindungan ( Tana )
 Kebahagiaan Tertinggi ( Paramam Sukkham )
 Penghancuran Keinginan Rendah ( tanhakkhaya )
 Keabadian ( Dhura )
 Tanpa Batas ( Ananta )
 Tak Berkondisi ( Asamkhata )
 Yang Tidak Ada Bandingannya ( Anupameya )
 Yang Termulia ( Anuttara )
 Yang Tertinggi ( Para )
 Kebahagiaan ( Siva )
 Kesucian Mutlak ( Visuddha )
 Kebebasan ( Muti )
 Perdamaian ( Santi )
 Diluar Keduniawian ( Lokuttara )
 Dan lain-lain.
Sabda Sang Buddha :
“ Apabila seseorang telah membebaskan batinnya, para dewa sekalipun tak dapat menjejakinya, walau mereka berpikir; “ Ini adalah kesadaran Sang Tathagata.” Mengapa ? Disebabkan karena Buddha tak terjejaki. Walau saya berkata demikian, beberapa pertapa dan Brahmin salah menafsirkan, bertentangan dengan kenyataan, mereka berkata : “ Pertapa Gotama adalah berpandangan nihilis, sebab dia mengajarkan pemotongan, penghancuran, hilangnya keberadaan secara menyeluruh.” Tapi Saya tidak mengatakan demikian. Dari dulu sampai sekarang, Saya hanya mengajarkan tentang Penderitaan dan Penghentian Penderitaan.”
Suatu ketika, seorang bernama Upasiva bertanya kepada Sang Buddha : “ Mereka yang telah pergi ( ke Nibbana ), apakah mereka musnah keberadaannya, atau mereka tetap tak lekang selamanya ?
Jelaskan kepada saya, Oh, Guru Bijaksana, Sebab Kaulah yang mengetahui segalanya. “
Sang Buddha menjawab :
“ Tak dapat dinilai mereka yang telah pergi, yang oleh seseorang mungkin dikatakan sebagai Tidak Ada Lagi.
Ketika semua fenomena telah tiada, semua cara untuk menggambarkannya juga tiada. “
Sekali waktu, seorang pengembara bernama Vacchagota bertanya pada Sang Buddha tentang keberadaan mereka yang telah mencapai Nibbana, mereka timbul ( dengan kata lain, tetap keberadaannya ) atau tidak timbul ( dengan kata lain, hilang keberadaannya ). Sang Buddha menolak untuk memberi jawaban, dan menerangkan pada kita bahwa beliau menolak karena Nibbana adalah keadaan yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata :
“ Tapi, Gotama yang bijaksana, dimana timbulnya para siswa yang batinnya terbebaskan itu ? “
“Istilah “Timbul” tidak dapat terpakai.”
“Bila demikian, bagaimana kalau dikatakan “ Tidak Timbul “. “
“ “ Tidak Timbul “, juga tidak terpakai. “
“ Bila demikian, apakah mereka” timbul dan juga tidak timbul “ ? “
“ “ Timbul dan Tidak Timbul “ juga tidak terpakai. “
“ Bila demikian mereka “ tidak timbul dan juga tidak tidak timbul ? “ .“
“ “ Tidak Timbul dan juga Tidak Tidak Timbul “, juga tidak terpakai. “
“Dengan demikian, saya kehilangan jejak dalam hal ini, Gotama yang baik, saya bingung, dan kepuasan yang saya dapati pada pembahasan yang lalu, sekarang telah tiada lagi… . “
“ Kesadaran Tathagata terbebas dari pengungkapan-pengungkapan; dia begitu dalam, tak terukur, tak diketahui dalamnya seperti lautan. “ Timbul “ tak terpakai, “ Tidak Timbul “ tak terpakai, “ Timbul dan juga Tidak Timbul “ tak terpakai, “ Tidak Timbul dan juga Tidak Tidak Timbul “ juga tidak terpakai. “
Yang dimaksud Sang Buddha, bahwa seseorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak ada lagi, adalah bahwa semua ciri-ciri yang dihubungkan dengan keberadaan – lahir, mati, jasmaniah, bergerak dalam waktu dan ruang, dan berperasaan sebagai suatu pribadi sendiri – tidak lagi dapat digunakan untuk menggambarkannya, juga untuk menggambarkan Nibbana itu sendiri. Maksud dari pernyataan bahwa seorang yang telah mencapai Nibbana keberadaannya tidak musnah, adalah tepat seperti itu.
Dimensi Nibbana tak dapat digambarkan secara tepat dengan bahasa duniawi, pula keberadaan Nibbana tak dapat dibayangkan oleh pikiran duniawi.
Namun, meski sulit digambarkan, dijangkau oleh logika, Sang Buddha memberi kita gambaran umum tentang keberadaan Nibbana. Dengan menggambarkan batin manusia, Sang Buddha berkata :
“ Batin adalah putih suci, namun dia ternodai oleh kekotoran batin yang sebelumnya tidak ada. Orang awam tidak menyadarinya, oleh karenanya mereka tidak menjaga batinnya. Batin adalah putih suci, dan dapat dimurnikan dari kekotoran batin yang sebelumnya memang tidak ada. Siswa yang agung mengerti hal itu, makanya mereka menjaga batin mereka. “
Dengan kata lain, batin adalah suci pada awalnya ( pabhassaram idam cittam ), kemudian dinodai kotoran batin yang sebenarnya adalah sesuatu yang asing bagi batin. Bila kotoran batin dibersihkan, maka batin kembali suci lagi. Sang Buddha bersabda :
“ Dimana tanah, air, api, dan udara tak berpijak ? Dimanakah yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah ? Jawabnya adalah : Itu adalah kesadaran dari seorang Yang Agung – tak tertandai, tak terikat, dan bercahaya. Disana tak ada tempat tanah, air, api, dan udara itu berpijak. Disana yang panjang dan pendek, kecil dan besar, murni dan tak murni, nama dan rupa, akhirnya musnah. Bila kesadaran telah musnah, maka demikian pula semuanya itu. “
Nirvana / Nibbana adalah sebuah kondisi-batin dimana jasmaniah dan semua keberadaan berlawanan-pasang ( panjang dan pendek, besar dan kecil, murni dan tidak murni ) tidak ada lagi serta batin tak tertandai lagi ( anidassanam ), tak terikat ( anatam ) dan bercahaya ( sabbato pabham ). Bercirikan sebagai keadaan kekal ( nibbanapadam accutam ) dari kemurnian ( suddhi ), kebebasan ( vimitti ) dan kebahagiaan tertinggi ( nibbanam paramam sukham ).
SA-UPADISESA NIBANNA
Sang Buddha memberitahukan, bahwa Nibbana dapat dicapai dalam dua cara. Pertama, mereka yang mencapai Nibbana, dengan batin yang telah bebas, tapi karena jasmani-Nya masih ada, maka dia masih menjadi obyek penderitaan jasmaniah. Yang pertama ini disebut sebagai Nibbana dengan sisa dasar ( Supadisesa Nibbana ).
ANUPADISESA NIBBANA
Lalu, setelah mereka mati, batin juga dibebaskan dari penderitaan jasmaniah dan saat itu seseorang mencapai Nibbana Sempurna. Ini disebut Nibbana tanpa sisa dasar ( anupadisesa nibbana ), atau sering juga disebut sebagai Nibbana Sempurna ( Parinibbana ).
Meskipun kita hanya bisa mengerti sepenuhnya keadaan Nibbana setelah kita mengalaminya sendiri, namun kita tetap dapat mengetahui keberadaan “alam” Nibbana itu. Pertama, kita dapat menyimpulkan keberadaannya. Apabila ada dimensi disertai kelahiran, kematian, kekotoran batin dan kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa ada dimensi tanpa itu. Naskah Buddhis Kuno menyebutkan :
“ Dimana ada panas,
Disitu pasti pula ada dingin.
Demikian pula,
Dimana ada Tiga Api,
Disitu pasti pula ada Nibbana.
Dimana ada kejahatan,
Disitu pasti pula ada kebajikan.
Demikian pula,
Dimana ada kelahiran,
Keadaan “ Tak Terlahir “, dengan demikian, juga ada. “
Kedua, kita dapat mengetahui adanya keadaan seperti Nibbana, karena ada yang mencapaianya, yaitu : Sang Buddha beserta pengikut-pengikutnya, Para Arahat Yang Mulia, Yang Telah Pergi.
Sang Buddha menegaskan keberadaan Nibbana. Beliau bersabda :
“ Ada sesuatu Yang Tak-Terlahirkan, Tak-Terjadi, Tak-Terbuat,Tak-Tergabung.
Bila tidak ada yang Tak-Terlahirkan,Tak-Terjadi,Tak-Terbuat,Tak-Tergabung, maka tidak akan ada jalan untuk bebas dari Terlahir,Terjadi,Terbuat,Tergabung.
Tetapi karena adanya Yang Tak-Terlahir,Tak-Terjadi,Tak-Terbuat,Tak-Tergabung, maka ada jalan untuk terbebas dari Terlahir,Terjadi,Terbuat,Tergabung.”
Sekali lagi Beliau menegaskan keberadaan Nibbana, sebagai berikut :
“ Ada suatu keadaan, dimana tidak ada tanah, air, api, dan udara, dimana tidak ada Lingkup Ruang Tak-Terbatas, Kesadaran Tak-Terbatas,Kehampaan, juga Lingkup Bukan Kesadaran bukan pula Tanpa Kesadaran, tidak di bumi ini, bumi seberang, ataupun keduanya, tidak ada matahari, tidak ada bulan, dimana tidak ada yang datang untuk dilahirkan, tidak ada yang pergi ke kematian, tidak ada kurun waktu, tidak ada yang terjatuh dan timbul. Bukan sesuatu yang terpaku, tidak pula bergerak. Dia berasaskan kehampaan. Inilah sebenarnya akhir penderitaan ( Nibbana ). “
Dapatkah setiap orang mencapai Kebahagiaan dan Kebebasan Nibbana ? Bila dapat, apakah setiap orang pada akhirnya akan mencapainya ? Jawaban untuk pertanyaan pertama sudah jelas, yakni bahwa setiap orang dapat mencapai Nibbana, dan justru Sang Buddha senantiasa mendorong setiap orang untuk menjadikan Nibbana tujuan hidupnya serta agar berupaya sekuatnya untuk mencapainya.
“ Keadaan Abadi ini telah banyak yang mencapainya.
Dan tetap dapat dicapai saat inipun,
Bagi siapa yang menjalankannya sendiri,
Tapi tidak bagi yang tidak berusaha sekuatnya. “
Apakah setiap orang akan mencapainya ? Jawaban dari pertanyaan ini tidak dapat diramalkan, karena setiap orang mempunyai minat dan cita-cita masing-masing. Sang Buddha telah mengajarkan Dhamma dengan sekuat tenaga, dengan berbagai macam cara, tetapi tentu saja pelaksanaan dan hasil akhir dari setiap siswa-Nya akan berbeda-beda.
Berlawanan dengan Samsara ( perwujudan keberadaan , lingkaran arus kelahiran-kematian-kelahiran-kematian, dan seterusnya ), Nirvana / Nibbana adalah kekal ( dhuva ), diinginkan ( subha ), dan bahagia(sukha).
4. Kesunyataan Mulia Keempat : Jalan Menuju Lenyapnya / Berakhirnya Dukkha
Jalan ini adalah Jalan Arya / Mulia Beruas Delapan ( Arya Atthangika Magga ), yang bila diringkas maka akan menjadi 3 ruas  :
1). PANNA, Kebijaksanaan – Benar
1.a). Pengertian Benar ( Samma-ditthi ),
1.b). Pikiran Benar ( Samma-sankappa ), ;
2). SILA, Moralitas – Benar.
2.a). Ucapan Benar ( Samma-vaca ),
2.b).Perbuatan Benar ( Samma-kammanta ),
2.c). Pencaharian Benar ( Samma-ajiva ). ;
3). SAMADHI, Pemusatan Perhatian – Benar.
3.a). Daya-upaya Benar ( Samma-vayama ),
3.b).Perhatian Benar ( samma-sati ),
3.c). Konsentrasi Benar ( Samma-samadhi ).

Jika anda ingin menuju pada “Yang-Mutlak, Yang-Tidak-Tercipta, Yang-Tidak-Terlahir… “ , menuju “Nibbana / Nirvana “, maka hanya ada satu jalan, yaitu : ARIYA ATTHANGIKA MAGGA , Jalan Mulia Beruas Delapan yang dibabarkan oleh Sang Buddha.
Berbagai jalan menuju neraka, alam hantu, alam binatang, alam setan jahat, alam manusia, alam-alam surga, alam “Tuhan” ( alam Maha-Brahma ) hingga alam para suciwan di Arupa-Loka, pernah kita bahas pada pembahasan “Alam Semesta III ; Kosmologi Buddhis “ ( Coba anda buka dan baca lagi , di blog ini juga, arsip tulisan-tulisan saya ). Jika anda ingin merealisasi “Yang-Mutlak”, merealisasi Nibbana, maka jalan satu-satunya adalah : SILA -> SAMADHI -> PANNA.
Sila yang harus anda jaga, bagi ummat awam adalah PANCASILA. Namun Sila yang harus dirawat demi “Pencerahan” / terealisasinya Nibbana adalah 227 Sila Pattimokkha ( Sila Kebhikkhuan ).
Samadhi, sudah sedikit di ulas pada “Samadhi-Benar”. Meskipun sesungguhnya pengetahuan mengenai “Samadhi” sangatlah luas jika itu ditilik dari pengajaran Buddha-Dhamma, sangatlah tidak sederhana. Pada intinya, ada dua metode yang diajarkan Sang Buddha :
1. Samatha ( Ketenangan ), dan,
2. Vipassana ( Pandangan Terang ).
Panna, ialah Kebijaksanaan yang menembus kesunyataan alam semesta, kehidupan, dan alam kehidupan. Dengan “Panna”, seseorang akan tertuntun menuju “Pembebasan”, pembebasan dari semua ilusi duniawi yang membingungkan dan mengakibatkan dukkha bagi semua makhluk. Dengan Panna, seseorang akan tidak lagi “melekat” pada dunia ini, pada kesenangan indrawi, pada harta-benda, dan lain sebagainya. Dengan Panna yang kuat, seseorang akan melepaskan diri dari jerat-jerat keduniawian, dan akhirnya pada akhir perjalanan samsaranya, akan mampu mencapai “Yang-Mutlak”, mencapai “Nibbana” / “Nirvana”.
Jalan Mulia Beruas Delapan ( Ariya Atthangika Magga ) ini sesungguhnya dapat diperinci ( untuk memperjelas sebagai sebuah sistem / Jalan-Pembebasan ) sebagai berikut :
1. Pengertian Benar ( Samma-ditthi )
Yaitu sebuah pengertian yang menembus arti dari :
a. Empat Kesunyataan Mulia
b. Ti-Lakkhana ( Tiga Corak Umum )
c. Hukum Paticca-Samuppada
d. Kamma-Niyama ( Hukum Karma )
2. Pikiran Benar ( Samma-Sankappa )
a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian ( nekkhama-sankappa ).
b. Pikiran yang bebas dari kebencian ( avyapada-sankappa ).
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman ( avihimsa-sankappa ).
3. Ucapan Benar ( Samma-Vaca ) :
Dapat disebut sebagai “Ucapan-Benar”, jika dapat memenuhi empat syarat dibawah ini :
a. Ucapan itu BENAR / SESUAI KENYATAAN.
b. Ucapan itu BERALASAN.
c. Ucapan itu BERMANFAAT / BERFAEDAH.
d. Ucapan itu TEPAT PADA WAKTUNYA.
4. Perbuatan Benar ( Samma-Kammanta )
a. Menghindari pembunuhan makhluk hidup apapun juga, dengan alasan apapun.
b. Menghindari pencurian / pengambilan barang yang tidak diberikan.
c. Menghindari perbuatan asusila.
5. Mata-Pencaharian Benar ( Samma-Ajiva )
Lima mata-pencaharian salah yang harus dihindari ( M.117 ), yaitu :
a. Penipuan.
b. Ketidak-setiaan.
c. Penujuman.
d. Kecurangan.
e. Memungut bunga yang tinggi ( praktek lintah darat )
Disamping itu, seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan, yaitu :
f. Berdagang alat senjata ( pisau, pedang, belati, pistol, martil, dan lain2 bentuk senjata ).
g. Berdagang makhluk hidup
h. Berdagang daging ( atau segala sesuatu yang berasal dari penganiyayaan makhluk-makhluk hidup ).
i. Berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan kecanduan.
j. Berdagang racun.
6. Daya-Upaya Benar ( Samma-vayama )
a. Dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik didalam bathin.
b. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam batin.
c. Dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam batin.
d. Berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam batin.
7. Perhatian Benar ( Samma-sati )
Samma-sati ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana-Bhavana ( meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup ), yaitu :
  a. Käyä-nupassanä         = Perenungan terhadap 
tubuh 
  b. Vedanä-nupassanä       = Perenungan terhadap
 perasaan. 
  c. Cittä-nupassanä        = Perenungan terhadap 
kesadaran. 
  d. Dhammä-nupassanä  = Perenungan terhadap 
bentuk-bentuk pikiran.
8. Konsentrasi-Benar ( Samma-Samadhi ), yaitu latihan meditasi untuk mencapai Jhana-Jhana ( Rupa-Jhana dan Arupa-Jhana ).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGIATAN PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS KPM, BUMDes, DESAIN DAN RAB

Kamis 7 Desember 2023 Pemerintah Desa Terusan Makmur dan Pemerintah Desa Terusan Mulya mengadakan kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB. Peserta Pelatihan terdiri dari Perangkat Desa, BUMDes, KPM dan Kader Posyandu. Jumlah Narasumber ada 6 diantaranya:  1. HENDRANO, S.P dan RIJALI RAHMAN, S.Pd.I Judul Materi Pemahaman Administrasi BUMDes  2. YUDIANTO,S.H dan ELISE, S.P Judul Materi Pelatihan KPM dan Posyandu  3. SUYONO, S.T dan TITI YULIANTI, S.Pd.I Judul Pelatihan materi Desain RAB kegiatan pelatihan ini dilaksanakan di Aula Kantor Desa Terusan Makmur.  harapan PLH. Kades Terusan Makmur Bapak Anang Amunddin, S.Pd terhadap seleruh pesesta pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB yaitu  1. dapat menambah pengetahuan dalam bidang masing-masing  2. dapat diterapkannya setelah mengikuti pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB ini.

DEWATA NAWA SANGA

Dewata Nawa Sanga, 9 Dewa Peguasa Mata Angin 1. Definisi Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa. 2. Penjelasan Tentang Atribut Dewata Nawasanga a. Dewa Wisnu Arah : Utara/Uttara Pura : Batur Aksara : Ang Senjata : Cakra Warna : Hitam Urip : 4 Panca Wara : Wage Sapta Wara : Soma Sakti : Dewi Sri Wahana : Garuda Fungsi : Pemelihara b. Dewa Sambhu Arah : Timur Laut/Airsanya Pura : Besakih Aksara : Wang Senjata : Trisula Warna : Biru/Abu-Abu Urip : 6 Panca Wara : Sapta Wara : Sukra Sakti : Dewi Mahadewi Wahana : Wilmana c. Dewa Iswara Arah : Timur/Purwa Pura : Lempuyang Aksara : Sang Senjata : Bajra Warna : Putih Urip : 5 Panca Wara : Umanis Sapta Wara : Redite Sakti : Dewi Uma Wahana : Gajah Putih d. Dewa

LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN

  LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar belakang Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi , yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya. Ada dua alasan mengapa para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan. Pertama, karena pendidikan bersifat normatif maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi atau sesuatu titik tolak yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif tersebut an