I GEDE DARMAWAN
HINDU KAHARINGAN: RIWAYATMU DULU DAN
SEKARAN
(Artikel: Tiwi Etika)
Dalam pemikiran sebagian orang, ketika mendengar
kata Kaharinga, maka yang tergambar
dalam benaknya adalah sekompok masyarakat atau suku pedalaman yang menghuni
salah satu sisi di pulau Kalimantan, hidup dalam balutan ritualistic bernuansa
magis menyeramkan, namun dihiasi oleh senyuman bibir yang sensual, dengan warna
kulit putih sawo matang, kemudian lirikan mata sipit yang indah dan telinga
panjang berhiaskan kilauan emas dan permata. Tidak mengherankan memang, pulau
Kalimantan yang konon dijuluki sebagai “the
lung of the word” karena hutannya yang luas, dengan kakayaan alam yang
berlimpah dan dihuni oleh ratusan suku dan anak suku yang menyebar di beberapa
sungai besar dan kecil di pelosok pulau Kalimantan. Memiliki pesona dengan
characteristic yang sangat berbeda dengan daerah lainya, dan mengundang banyak
pertanyaan yang penuh misteri hingga sekarang ini.
Dimulai dari misteri kata Kaharingan misalnya, sejak namanya dikenal pada era 70-an, dipahami
beragam oleh masyarakat luas, bahkan oleh orang Kalimantan itu sendiri, karena
banyaknya suku yang ada di Kalimantan, nama Kaharingan
pun dianggap sebagai salah satu anak suku Dayak, yaitu Dayak Kaharingan.
Agama pribumi di pulau Kalimantan Tengah ini
pada awalnya disebut oleh Kolonial Belanda sebagai agama Helo (dahulu), Hiden (heathens), Kapir, Tempon Telun dan
sebagainya: dan baru di zaman pendudukan Jepang diberikan nama khas oleh
seorang Demang (kepala adat Dayak), Damang
Yohanes Salilah, yaitu Kaharingan
dan direstui oleh pemerintah Jepang. Hingga sekarang nama tersebut diakui dan
diterima oleh masyarakat, terutama oleh pemeluknya. Damang Yohanes Salilah,
yang pernah menjadi “Balian” atau “Basir” (pinandita/pendeta Kaharingan) sebelum memeluk agama
Kristen, menerangkan bahwa kata Kaharingan
berasal dari bahasa Sangen atau bahasa Sangiang (bahasa ini hanya digunakan dalam tuturan/mantra
ritual Kaharingan) yang berarti dengan sendirinya (by itself), secara
lugas kata Kaharingan berarti Kehidupan (Prof. KMA Usop: 1975).
Era kemerdekaan yang dinikmati rakyat
Indonesia pada tahun 45-an, ternyata tidak dirasakan oleh Umat Kaharingan
ketika itu. Walaupun segala pelaksanaan ritual Kaharingan tetap berjalan, namun
Departemen Agama Republik Indonesia belum dapat melayani dan mengakui Kaharingan sebagai agama. Kantor Urusan Agama
Propinsi Kalimantan di Banjarmasin ketika itu, belum bisa membina dan melayani
umat Kaharingan. Dalam rangka memperjuangkan Kaharingan sebagai agama, maka berdirilah Serikat
Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), sebagai partai politik, hasil kongres I tokoh-tokoh Kaharingan di
Desa Tangkahen tahun 1950. Selanjutnya tahun 1953 mengadakan kongres di Desa
Bahu Palawa, dan salah satu tuntutan kontroversial kongres yaitu menuntut
Kalimantan Tengah lepas dari Propinsi Kalimantan Selatan (ketika itu Kalteng
dan Kalsel bergabung menjadi satu provinsi), sebelum pemilu 1955. Kalimantan
Tengah diharapkan menjadi Propinsi tersendiri bagi umat Kaharingan. Merasa tuntutan tersebut menemui jalan buntu segenap orang Dayak
mengadakan gerakan, dengan nama Gerakan Mandau Talawang Pancasila
(GMTPS) dipimpin oleh tokoh Kaharingan/Ketua Umum SKDI bernama Sahari Andong, dibawah komando
Panglima CH. SIMBAR yang dikenal dengan Panglima Uria Mapas. Akhirnya pada 5 Desember 1956 tuntutan tersebut
dikabulkan. Propinsi Kalimantan Tengah dibentuk dengan Undang–Undang Darurat
No: 10 Tahun 1957; Tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan
Tengah. Harapan umat Kaharingan, bahwa Kaharingan akan dibina seperti Agama
lainnya oleh Pemerintah semakin terang. Namun kenyataan yang
diterima setelah Provinsi Kalimantan Tengah berpisah dengan provinsi Kalimantan
Selatan tidak seindah harapan.
Eksistensi Kaharingan
semakin sulit, seperti kesulitan menjadi Pegawai Negeri, kesulitan mendapat
pendidikan agama dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Puncak
ketidak-merdekaan yang dialami umat Kaharingan pada Tahun 1979, saat Mendagri
(Jenderal Amir Machmud), mengeluarkan kebijakan dalam mengisi KTP, menyatakan
bahwa untuk kolom Agama bagi yang bukan beragama Islam, Kristen, Khatolik,
Hindu dan Budha, dibuat tanda strip “-“ yang berarti penganut aliran
kepercayaan. Umat Kaharingan merupakan umat yang merasakan ketidak-adilan
dengan kebijakan Mendagri tersebut. Alhasil kebijakan Mendagri tersebut
menimbulkan gejolak, bahkan ada yang telah mengibarkan Bendera Putih, sebagai
tanda Kaharingan telah berakhir. Sudah tentu umat Kaharingan sangat keberatan
dan beberapa orang menemui Bapak. Simal Penyang dan Lewis KDR dll. Kemudian
sebagai hasil pertemuan umat dengan Bapak Simal Penyang, Lewis KDR, Liber Sigai
dll, dibuatlah sebuah pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh Bapak Lewis KDR dan
Bapak Liber Sigai, menyatakan mencabut dukungan umat Kaharingan terhadap partai
politik yang berkuasa pada saat itu. Dokumen tersebut dibawa oleh Bapak Rangkap
I Nau dan disampaikan oleh Walter S.Penyang kepada Bapak Manase Pahu, selaku
ketua Fraksi Karya Pembangunan DPRD
Propinsi Kalimantan Tengah. Melihat situasi demikian Bapak Manase Pahu,
Barthel Benung, BA dan Bapak Simal Penyang
menghadap Gubernur Kalimantan Tengah Willa A.Gara, namun beliau tidak bisa
berbuat apa-apa, karena kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat melalui Mendagri, sehingga cita-cita luhur umat Kaharingan
masih menemui jalan buntu.
2.
Kronologis Integrasi Kaharingan dengan Hindu
Dharma Perlakuan Diskriminasi telah melukai lubuk hati
sanubari Umat Kaharingan.
Meskipun merupakan komunitas pertama yang
mempelopori cikal bakal berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah, pada jaman
dahulu, namun keberadaan umat Hindu Kaharingan masih terpinggirkan dari
kesejahteraan. Minimnya perhatian pemerintah pusat dan daerah seakan membuat
masyarakat Dayak Kaharingan terasing di rumah sendiri. Tidak heran, jika umat
Hindu Kaharingan terus berjuang untuk memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah
seperti halnya agama lain. Kepedihan
yang mendalam akibat perilaku diskriminasi “SARA” yang dialami umat Kaharingan
terus terjadi. Dimulai sejak masuknya “Missi Suci “ penjajah Belanda di
Kalimantan Tengah hingga di era kemerdekaan pun masih terasa, dan kebijakan
pemerintah Indonesia yang sentralistik tersebut diatas, terasa menyakitkan.
Segala usaha atau upaya terus ditempuh oleh para tokoh Kaharingan, walaupun
adanya distorsi yang serius dari pihak luar, terhadap penganut Kaharingan,
melalui fenomena penolakan terhadap upacara-upacara dengan pemberian nama yang
menyakitkan dan penghinaan, menyebutkan umat Kaharingan adalah penganut aliran
kepercayaan. Ritual keagamaan
Kaharingan dianggap sebagai upacara Adat. Di masa jaman missi Zending, mereka
menjalankan taktik penghapusan atau mentabukan ritual Kaharingan. Karena
ritual-ritual Kaharingan disebut Kapir, Hiden, Ragi Usang. Apabila umat Hindu Kaharingan melaksanakan
upacara Tiwah, Wara, Injambe disebut upacara adat. Terhambatnya
mengangkat harkat dan martabat selaku anak bangsa dan manusia yang telah
merdeka dari penjajahan dan penindasan, perkembangan SDM yang jauh tertinggal
karena tidak pernah diperhatikan, sehingga pengkaderan melalui program
Pemerintah tidak pernah menyentuh umat Kaharingan, menyebabkan umat Kaharingan
tidak mampu bersaing diarena kehidupan. Membuat segenab umat Kaharingan
bertekat untuk meyelesaikan kepedihan atas ketidakadilan yang diterima dengan
melakuka pertemuan bersejarah antara tokoh-tokoh Kaharingan ketika itu diantaranya:
Simal Penyang, Lewis KDR, Sahari Andung, Itar Ilas, Dagon Ginter, Drs. Liber Sigai, Bajik R. Simpei, Walter S. Penyang, Rangkap I. Nau,
dengan tokoh Hindu yang berasal dari Bali seperti: I Wayan Madu., I Dewa Made
Gereh Putra., Drs. Oka Swastika.,
Drs. Artana., Nyoman Tasra, Nyoman Saad
Wilotama, Nyoman Suanda, SH,
bersatu-padu dan mulai bergerak menegakkan persatuan umat Hindu untuk mencari solusi untuk mempertahankan
eksistensi umat Kaharingan, mengadakan rapat dan selanjutnya Pimpinan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan. Hasil pertemuan
tersebut sepakat untuk
mengirimkan surat kepada pimpinan Parisada Hindu Dharma Pusat di Denpasar
perihal keinginan umat Kaharingan di Kalimantan Tengah yakni; penggabungan/integrasi Majelis Besar
Alim Ulama Kaharingan Indonesia dengan Parisada Hindu Dharma, dan Agama
Kaharingan bergabung dengan Hindu Dharma nomor surat: 5/KU-KP/MB-AUKI/I/1980. Keinginan umat Kaharingan tersebut disambut baik oleh Parisada Hindu
Dharma Pusat dengan nomor surat: 24/Perm/I/PHDP/1980, tentang diterimanya
keinginan Majelis Besar Alim Ulama
Kaharingan Indonesia untuk berintegrasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Sebagai tindak lanjut surat MBAUK Indonesia dan PHDI Pusat ketika itu,
maka keluar surat dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha
Departemen Agama RI nomor: H.II/1980 tanggal 12 Pebruari 1980, tentang
penggabungan/integrasi umat Kaharingan dengan Hindu yang ditanda tangani oleh
Direktur Urusan Agama Hindu yakni drg. Willy Pradnya Surya.
Berdasarkan Surat Dirjen Bimas Hindu dan Budha tersebut di atas, maka
Gubernur Kalimantan Tengah mengeluarkan kebijakan melalui surat nomor: T.M.49/I/3
tanggal 20 Pebruari 1980 tentang
penggabungan umat Kaharingan dengan umat Hindu. Surat ini ditujukan
kepada Bupati/Walikota se-Kalimantan Tengah, sebagai pemberitahuan bahwa
Kaharingan berintegrasi dengan Hindu, dan dibina oleh Departemen Agama. Beberapa hari
berikutnya Bapak Lewis KDR selaku pimpinan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia didampingi Manase Pahu
berangkat ke Jakarta (Departemen Agama R I). Perjalanan ke Jakarta
dibiayai Lukas Tingkes sebesar
Rp. 148.000. Hasil ke Jakarta tersebut, akhirnya keluar SK Dirjen Bimas
Hindu dan Budha Departemen Agama RI No: H/37/SK/ 1980, Tanggal 19 Maret 1980,
tentang Pengukuhan Majelis Besar
Agama Hindu Kaharingan (perubahan dari Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia), sebagai Lembaga Keagamaan, bertugas untuk mengelola dan membina umat Kaharingan.
Selanjutnya disebut Hindu Kaharingan, sebagai follow-up keluarnya Keputusan tersebut Bapak Lewis BBA, Simal Penyang,
Liber Sigai, Oka Swastika dkk berangkat ke Denpasar (Bali), untuk konsultasi dan
koordinasi dengan para
sesepuh Hindu Dharma, dan diterima oleh para
pimpinan PHDI Pusat dan Prof. Dr. Ida Bagus Oka (Rektor Universitas Udayana, Bali). Tanggal 16 April 1980 diadakan rapat konsultasi dengan para
pimpinan Hindu Indonesia yaitu: Drs. Oka Puniatmaja, Ketua PHDI Pusat, I Wayan Surpha, Sekjen PHDI Pusat, Nyoman Pinda,
Cok Raka Dherana, SH, Wakil
Presiden Pemuda Hindu se-dunia, Prop Dr. Ida Bagus Oka, Cok Rai Sudharta, MA dan membicarakan kedudukan
organisasi masing-masing. Kemudian tanggal 17 April 1980, diterima oleh sesepuh Hindu, Prof Dr. Ida Bagus Mantra (Gubernur Propinsi Bali), setelah melaporkan hasil
pertemuan, tanggal 16 Maret 1980, di hotel Bali, maka beliau
menyatakan bahwa kekuatan Hindu
Indonesia yang telah berkembang belasan
abad, dan di Kalimantan malah yang tertua di Indonesia. kemudian pertemuan itu dilanjutakan dengan
melaksanakan ritual terhadap Bapak Lewis KDR yakni “disudiwadani-kan” mewakili
umat Kaharingan di Pura Jagadnatha – Denpasar, dan di beri nama kehormatan I Putu Jatha Mantra.
Majelis Besar Agama
Hindu Kaharingan, memperkuat kekuatan organisasi agama Hindu dalam
memperjuangkan nasib umatnya, dan disarankan program utama adalah meningkatkan
SDM, melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang bernafaskan
Hindu Kaharingan. Sehingga membuka Sekolah
Pendidikan Guru Agama Hindu Kaharingan Parentas Palangka Raya (PGA-HK) sebagai
cabang PGA Hindu Negeri Denpasar di Kota Palangka Raya. Beberapa tahun kemudian
didirikan Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan (STA-HK) Tampung Penyang
Palangkaraya.
Integrasi Kaharingan
dengan Hindu merupakan keinginan murni dari umat Kaharingan ketika itu, sebagai
jalan terbaik bagi umat Kaharingan dalam rangka mendapat pembinaan dari
Pemerintah. Selanjutnya rentetan proses ritual untuk
mengukuhkan integrasi Kaharingan dengan Hindu Dharma terus dilakukan seperti
ritual “Hambai”, angkat
saudara kandung seperjuangan antara tokoh
Kaharingan dan anggota PHDI – Pusat, 30 Maret
1980 s/d 1 April 1980. Kemudian di Balai Induk Kaharingan pada bulan April 1980 dilaksanakan upacara Balian Balaku Untung Aseng Panjang
dan Manggantung Sahur MBAHK,
dengan dihadari oleh Ketua umum PHDI Pusat, yakni Drs. Oka
Puniatmaja, drg. Willy Pradnya Surya (Sek Dirjen
Bimas Hindu Budha Dep Agama RI), dan beberapa
tokoh-tokoh Hindu Indonesia dan Kalteng antara lain: Simal Penyang,
Lewis KDR, Sahari Andung, Itar Ilas, Dagon Ginter, Drs. Liber Sigai, Walter S. Penyang, Rangkap I. Nau, Drs. Oka Swastika, I Dewa Gereh Putra, I Wayan Madu, dll. Ritual tersebut diatas menghadirkan seorang
Pedanda untuk hadir pada upacara Balaku
Untung Aseng Panjang tersebut. Dalam rangka menilik persamaan dan
perbedaan pelaksanaan ritual Kaharingan dengan acara agama Hindu, disamping melakukan Pensudian bagi para tokoh Hindu Kaharingan.
Sebagai tindak-lanjut dari SK. Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI No. H. 37/ SK/ 1980 yang mengukuhkan
Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan sebagai Badan Keagamaan Hindu, sehingga
lembaga ini dipersilahkan dan mempunyai kewenangan melakukan upacara-upacara
bagi umat Hindu di luar yang
berasal dari Suku Dayak. Pada saat upacara Balian tersebut Ida Pedanda memakai atribut penuh
kepanditaannya, karena menurut beliau upacara Balian Balaku Untung Aseng Panjang adalah upacara tertinggi umat Hindu, dilihat dari sesajen, urutan upacara, atribut upacara
tersebut.
Kemudian untuk mengantisipasi isu bahwa dengan
integrasi tersebut umat Kaharingan akan di Bali-kan, atau meninggalkan
upacara-upacara agama yang telah dilakukan di Kalimantan Tengah, dikeluarkan
edaran PHDI Prop Kalteng, No. I / E/ PHDI-KH/1980; bahwa tata cara pelaksanaan upacara
keagamaan yang telah dilakukan Kaharingan sebagai upacara agama Hindu tetap di
pelihara dan dilestarikan, sepanjang tidak bertentangan dengan Weda dan
Panaturan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Edaran ini sesuai pula dengan
pentunjuk sesepuh Hindu Indonesia Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Gubernur Bali,
pada saat itu), di Denpasar Tanggal 17 Maret 1980 dihadapan pimpinan PHDI Pusat dan tokoh umat Kaharingan lainnya, diruang
rapat Rumah Jabatan Gubernur.
3.
Riwayatmu Sekarang
Di era tahun 2000-an, seiring semakin
berkembangnya intelektual maupun peradaban umat Hindu Kaharingan, permasalahan
yang dihadapi bukan lagi seputar eksistensi dibina atau tidak oleh Departemen
Agama, dan tidak paham maupun tidak dimengertinya ajaran-ajaran luhur keagamaan
Hindu Kaharingan, namun keberadaan Hindu Kaharingan sedikit dimamfaatkan oleh
segelintir orang sebagai ajang mencari populeritas (baca, dimamfaatkan dalam
dunia politik) menuju pe-sugihan sekelompok orang maupun individual. Hal dapat
dimengerti mengingat jumlah penganut atau umat Hindu Kaharingan di Kalteng
mencapai 300.000 orang hal ini merupakan potensi besar untuk menentukan suara
dalam pilkada di dearah Kalimantan Tengah (Palangka Raya, Banjarmasin Post Kamis,
17 Maret 2005). Fenomena dipolitisasinya keberadaaan Hindu Kaharingan
tersebut diatas melahirkan fenomene negative bagi umat sehingga sebagian dari
umat yang tidak paham dunia politik memilih bersikap fasif terhadap segala
bentuk aktivitas keagamaan bahkan ada yang hengkang dari Hindu Kaharingan.
Karena terlalu bosan menonton ‘sandiwara’ yang dipertontonkan oleh segelintir
orang di atas. Namun tidak semua umat Hindu Kaharingan menyalah-gunakan
eksistensi Hindu Kaharingan yang semakin hari-semakin diperhitungkan
keberadaannya.
Komentar
Posting Komentar