Langsung ke konten utama

LAPORAN PKL



LAPORAN PKL
DI PURE BASAKIH DENPASAN
OLEH, GEDE, RANO, IWI, ERNI, TAMIYANG, ARI
1.1.Latar Belakang
Indonesia memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumber daya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuia dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa  pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan bentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan disetiap jenjang, Universitas harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Universitas Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pngetahuan dan kemampuan teknis (Hard Skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (Soft Skill). Penelitian ini menggunakan kesuksesan hanya ditentukan sekita 20% oleh Hard Skill  dan sisanya 80% oleh Soft Skill. Bahkan orang-orang tersukses didunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan Soft Skill dari pada Hard Skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan dan perbuatan berdasarkan  norma-norma agama, tata krama, budaya, dan adat-istiadat.
Maka oleh sebab itu perkembangan pemikiran kita tingkatkan selain melalui pendidikan, juga dapat dilakukan melalui penelitian. Seperti yang telah diketahui bahwa sejarah itu sangatlah penting untuk kita kaji dan teliti, karena di Indonesia ini betapa banyak situs-situs peninggalan sejarah untuk diteliti. Sedangkan hal yang akan dilaporkan dalam laporan praktek kerja lapangan ini adalah mengenai Sejarah dan Perkembangan Keberadaan Pura Basakih di Kabupanten Karangasam, Denpasar-Bali. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan laporan ini yaitu menggunakan metode wawancara, dan kepustakaan dengan mengutif dari buku-buku dan juga bahannya dicari dari internet yang berkaitan dengan isi dari pada laporan ini.



1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dalam laporan ini penulis mengangkat beberapa rumusan masalah yang akan dikaji dalam penulisan laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana sejarah Pura Basakih?
1.2.2. Bagaimana perkembangan keberdaan Pura Basakih di masa sekarang?

1.3. Ruang Lingkup
Pada  hakikatnya  mempunyai  tujuan dalam memberikan pengertian yang obyektif, sistimatik dan analistis sesuai dengan potensi dan keadaan yang nyata berdasarkan suatu teori agar mempunyai sasaran yang tepat terhadap kepentingan masyarakat. Setiap penulisan yang diadakan mempunyai suatu batasan-batasan permasalahan yang akan dibahas. Hal ini mempunyai maksud untuk tidak adanya pandangan yang keliru, mengingat permasalahan yang begitu banyak dan kompleks.
Dilihat dari lokasi yang dipilih sebagai tempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini terbatas, yaitu dilakukan di Pura Penataran Basakih Kabupaten Karang Asam, Denpasar, Bali. Maka dari itu penulis membahas tentang sebagian yang ada di Pura Basakih itu sendiri. Dipilihnya lokasi ini karena Pura Basakih mempunyai sejarah dan keberadaan pada zaman dahulu hingga sekarang.

1.4.Tujuan Penulisan
Setiap tulisan tentunya mepunyai tujuan yang sangat ingin dicapai oleh seseorang suatu fakta dengan menggunakan berbagai metode-metode ilmiah. Berdasarkan beberapa pertanyaan penulisan dalam rumusan masalah diatas, maka penulisan ini mempunyai dua tujuan pokok, yaitu :
1.4.1. Tujuan Umum
Tujun umum dalam penulisan laporan Praktek Kerja Lapangan yaitu untuk mengetahui bagaimana sejarah Pura Basakih.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujun umum dalam penulisan laporan Praktek Kerja Lapangan yaitu untuk mengetahui bagaimana perkembangan keberadaan Pura Basakih.

1.5.Mamfaat Penulisan
Dalam penulisan ini diharapkan memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.5.1.      Manfaat Teoritis
Secara teoritis dalam penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama terhadap kajian sejarah dan keberadaan Pura Basakih di Denpasar. Disamping itu, dengan adanya kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan sumber informasi yang bermanfaat tentang sejarah dan keberadan Pura Basakih.
1.5.2.      Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penulisan ini diharapkan :
1.5.2.1.         Mendapat pengetahuan yang mendalam tentang sejarah dan perkembangan keberadaan Pura Basakih.
1.5.2.2.         Hasil penulisan yang diperoleh dari Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini diharpakn dapat menjadi masukan kepada pihak-pihak terkait didalam melestarikan peninggalan sejarah yang ada di tanah air Indonesia tercinta ini.
1.6. Metodologi
Metodelogi yang digunakan pada Praktek Kerja Lapangan adalah field research yaitu penelitian yag dilakukan dengan meninjau dan mengamati secara langsung pada tempat penelitian untuk mendapatkan  data-data yang akurat.
Beberapa teknik yang dapat digunakan pada field reaserch adalah:
1.6.1.           Obsevasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung ke obyek masalah yang akan ditulis yang merupakan sumber data.
1.6.2.           Interview, adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara  Tanya jawab (wawancara) dengan pihak-pihak terkait yang dapat memberikan penjelasan,keterangan mengengai hal-hal yang akan ditulis oleh penulis.
1.6.3.           Kajian Pustaka adalah mencari sumber data yang berkaitan dengan masalah yang akan ditulis untuk bahan penulisan laporan.
1.6.4.           Dokumentasi adalah teknik yang digunakan  didalam penulisan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam menjelaskan bentuk, makna dan fungsinya.


BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH  DAN PERKEMBANGAN KEBERADAAN PURA BESAKIH
2.1. Sejarah Pura Basakih
Pura Agung Besakih merupakan kompleks pura terbesar di Bali. Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Pura ini berada di lereng bagian barat daya Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di pulau Bali. Pura Besakih ini berada pada ketinggian 1000 meter dpl. Gunung Agung sendiri memiliki ketinggian 3.142 meter dpl. Dari Kota Denpasar, pura ini berjarak 59 kilometer atau sekitar 2,5 jam perjalanan dari Bandara Ngurah Rai.
Gunung agung sendiri sudah meletus sebanyak 5 kali, yang terakhir terjadi pada tahun 1963 yang menimbulkan banyak korban jiwa terutama di daerah Karangasem dan Klungkung. Menurut cerita nama "Besakih" diambil dari kata "Basuki" yang berarti selamat. Latar belakang keberadaan Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa, yang diartikan gunung tersebut sebagai Istana Dewa Tertinggi.
Kompleks Pura Agung Besakih terdiri dari satu pura pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih dan 18 pura pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura lainnya). Di Pura Basukian, di tempat inilah pertama kali diterimanya wahyu dari Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal agama Hindu Dharma di Bali. Sedangkan di Pura Penataran Agung yang merupakan pura terbesar di kompleks ini terdapat 3 arca atau candi utama yang merupakan simbol dari sifat Tuhan Trimurti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa.
Kompleks pura Besakih ini sangatlah luas, mungkin sobat akan menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk mengelilingi areal ini. Tapi kita tidak akan merasa capek malahan akan merasa senang karena bisa melihat-lihat seluruh bangunan pura yang berada di kompleks pura terbesar di Bali ini.
Sejarah pembangunan pura ini belum bisa dipastikan. Namun berdasarkan catatan-catatan yang terdapat pada prasasti logam atau lontar-lontar dapat disimpulkan bahwa pura ini pada awalnya adalah bangunan pelinggih kecil yang kemudian diperbesar dan diperluas secara bertahap dalam waktu yang cukup lama. Pada sumber catatan-catatan itu dapat diketahui bahwa Pura Besakih sudah ada sejak tahun 1007.  
Sumber lain menyebutkan bahwa Maha Rsi Markendya beserta 8000 orang pengikutnya dari Jawa Timur berbondong-bondong ke Bali untuk menetap dan membangun Pura Besakih untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan warga setempat.
Pada cerita lain disebutkan bahwa, setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, perhatian terhadap Pura Besakih mulai diberikan oleh Dalem Ketut Ngulesir, penguasa kerajaan Gelgel pertama (1380-1480), karena keyakinan pada gunung sebagai tempat bersemayamnya para Dewa. Gunung dalam kepercayaan Hindu (Jawa) disebut sebagai lingga acala (lingga alam semesta). Pada saat inilah tanggung jawab terhadap penataan dan penyelenggaraan upacara di Pura Besakih jelas-jelas menjadi tanggung jawab penguasa (raja). Dua buah Purana (sejenis prasasti yang dikenal dengan nama Raja Purana Besakih) yang kini disimpan di Pura Besakih diyakini berasal dari raja Gelgel ini. Kedua prasasti tersebut menyatakan bahwa desa hulundang di Basuki (Besakih) merupakan sebuah desa yang "dilarang" atau "terlarang" untuk dilewati siapa saja (hlm. 322). Raja Purana Besakih ini secara jelas menjaga wilayah kekeran (radius yang disucikan) Pura Besakih, yang sayang saat ini telah banyak dilanggar, sehingga kesuciannya sebagai huluning jagat Bali sangat terancam. Raja Purana menunjukkan bahwa ada tiga bagian divisi yang bertanggung jawab terhadap pura dan ritual di Besakih, yaitu Ida Dalem bersama-sama Anglurah Sidemen atas Pura Penataran Agung, Arya Karangasem dan Ksatria Tamanbali untuk Pura Kiduling Kreteg dan Pura Batumadeg, serta para pejabat lokal. Pada abad XIX suatu konfigurasi baru kekuatan politik muncul di Bali. Para penguasa Klungkung telah kehilangan hegemoni politik yang dulu hanya dimiliki oleh pemerintahan Gelgel. Pura Besakih kemudian berada di bawah hegemoni kekuasaan Karangasem. Hal itu ikut mempengaruhi kedudukan Pura Besakih dalam konstelasi politik Bali. Pada zaman kolonial, Belanda tidak ikut campur untuk mengurusi Pura Besakih. Namun kekacauan politik pada zaman kolonial (awal abad XX) berdampak pada diabaikannya Pura Besakih. Segera setelah gempa bumi melanda Bali tahun 1917, tiga penguasa lokal yaitu stedehouder Karangasem, Bupati Gianyar dan Bupati Bangli mendeklarasikan bahwa "Kita telah mengabaikan Pura Besakih, tempat kita memuja Tuhan, selama 16 tahun, dan tidak pernah menyelenggarakan upacara di sana" (hlm. 354). Memasuki abad XX perubahan konstelasi politik dari Negara kerajaan ke Negara Republik juga ikut mengubah struktur dan penataan atas Pura Besakih. Tahun 1963 mulai dilakukan penataan dan penyelenggaraan upacara besar Eka Dasa Rudra oleh Gubernur Bali I Gusti Bagus Sutedja. Penataan yang sungguh-sungguh mulai dilakukan lagi pada saat Ida Bagus Mantra menjadi Dirjen Kebudayaan dan Gubernur Bali, hingga pemerintahan Dewa Made Beratha. David menyadari bahwa memasuki abad XXI (Pasca Orde Baru dan Reformasi) banyak hal dan perubahan sesungguhnya telah terjadi terkait dengan Pura Besakih.
2.1.1 Sejarah Berdirinya Bangunan Pura Besakih
Berbicara tentang pura besakih tidak terlepas dengan kedatangan Rsi Markandya di bali pada abad ke VIII, yang diawali dengan merambas hutan dengan anggota 8000 orang, namun gagal. sebab Sang Hyang Widi murka atas dasar mereka belum melaksanakan yajna sebagai sarat untuk mengarap lahan tersebut dan juga Rsi markandya belum mendapatkan wahyu atau wangsit dari sang pencipta dari hal tersebut banyaknya wabah penyakit yang mereka derita sehingga separuh dari pengikurtnya meninggal dunia. setelah mendapatkan wahyu mereka datang lagi dengan anggota 4000 orang akhirnya berhasil tetapi setelah diawali dengan mengadakan  pemujaan berupa penanaman panca datu  dibasukih/ Basakih ( Raja Purana Basakih Dan Dwijendra  Tattwa)
nama basakih ditemukan dalam beberapa sumber, misalnya dalam prasasti pentaran besakih A yang berangka tahun 1444 saka, menyebutkan desa huludang ring basuki dan desa hing basuki, pada prasasti batu madeg disebutkan lurah mangku basukir. dalam prasasti yang tersimpan dipura gaduh sakti didesa selat, yang dinamai ida ratu putra dari tahun 1471 masehi menyebutkan ring bhatara gunung basukir. dari kata basukir menjadi basuki lanjut menadi besakih.
Kata Basakih pada mulanya bernama basuki, yang artinya : rahayu atau selamat, berubah menjadi basukian : menyelamatkan jagat,  berubah lagi menjadi basakih  dan lontar markandia purana disebutkan bahwa : dibasakih sebagai tempat untuk memohon keselamatan dan kemakmuran jagat, melalui upacara :
1.         Bhatara Turun Kabeh
2.         Pannca Bali Krama
3.         Eka Dasa Rudra
4.         Pengenten Jadat Dipura Gelap ( Purnama Karo)
5.         Pengurip Bhumi Dipura Ulun Kulkul ( Tilem Kaliga)
6.         Ngusabha Kapat Dipanataran Agung  ( Purnama Kapat)
7.         Penuang Bayu Dipura Batumadeg ( Purnama Kelima)
8.         Usabha Riram Dibatu Madeg
9.         Penyeeb Brahma Dipura Kudiling Kreteg ( Purnama Kenem)
10.     Usubha Peneman/Mohon Panen Supaya Berhasil Dipura Bangun Sakti
11.     Usubha  Gede/Mohon Kesuburan Di Dalem Puri
12.     Usubha Nyungsung/Mohon Tanaman Terhindar Dari Hama Dipura Keduling Kreteng
13.     Usubha Buluh/ Mohon Tirta Kesuburan Tanaman Di Pura Banua Besakih
14.     Usabha Ngeet/Menyatukan Dewi Sri Dan Bhatara Rambut Sedanayang Dipusatkan Dipura Banua Dan Panataran Agung.
Pura Besakih adalah suatu wilayah yang ada di Besakih dengan 22 komplek puranya (18 pura umum dan 4 pura catur lawa). Pura ratu pasek dengan busana kuning lambang kemakmuran, pura ratu pade dengan busana warna merah lambang keamanan, pura ratu dukuh dengan busana warna putih lambang kesehatan dan pura penyarikan dengan busana putih tempat memuja Dewi Saraswati sebagai pengatur atministrasi negara. Catur lawaini dibangun pada jaman Dalem Waturenggong abab ke 15, hal ini dapat dilihat dalam Prasasti Penataran Agung A (isaka 1444) dan Prasasti Panataran Agung B (isaka 1446).
Tentang keberadaan pura besakih tindak terlepas dari Gunung Agung yang merupakan puncak dari wilayah pura Besakih,. Dan dalam hal tentang Gunung Agung mengelami beberapa kali meletus, sehingga mempengaruhi pura besakih hal ini dapat dilihat :
1. Pertama: Dalam Lontar Bahat Gunung Agung dengan tahun saka berupa candra sengkala: Rudhira Bumi (tahun saka 11 atau tahun masehi 89) meletus pertama
2. kedua: Tahun saka 13 atau tahun masehi 91, dengan candra sengkalaL: Gni Bhudara, letusan ini menimbulkan gempa bumi yang hebat selama dua bulan siang malam, pada saat ini Hyang Putran Jaya, Hyang Geni Jaya dan Hyang Danuh, datang ke Bali. Hyang Putran Jaya atau Hyang Mahadewa berkayangan di Gunung Agung sebagai siwa, Hyang Gni Jaya berkayangan di lampuyang sebagai Dewa Iswara, dan Dewi Danuh berkayangan di Gunung dan Danau Batur sebagai Wisnu.
3. Ketiga: Pada Sukra Kliwon Tolu, isaka 70 atau 148 masehi, mulai saat ini di Gunung Agung terdapat Salodaka (air belerang) yang selalu dipakai digunakan sebagai salah satu sarana upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. 
4. keempat: tahun saka 111 (wak sasi wak) 189 masehi
5.  kelima: Soma Kliwon Wariga, isaka 1885 atau 18 maret 1963, yaitu pada saat berlangsungnya upacara Eka Dasa Rudra.
Untuk menentukan kapan pura besakih dibangun? sampai sekarang belum ada berani memastikan, namun kalau kalau mengacu pada peninggalan yang ada, seperti unsur megalitik di pura Batumadek, punden berunduk di penataran agung, ada beberapa arca yang terdapat di penataran agung, atau beberapa arca yang terdapat penataran agung, maka pura besakih ini tergolong pura yang sangat kuno.
Untuk mengaji kekunoan tentang pendirian Pura Besakih maka di dijelaskan dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan perkembangan jaman yang pernah berkembang di Bali, antara lain sebgai berikut:
-       Jaman Hindu Bali
Berdasakan cerita yang mengacu pada sumber – sumber tradisi, maka yang dianggap sebagai pendiri Pura Besakih adalah Rsi Markandya. Beliau adalah seorang Pendeta Agama Siwa yang berasal dari Gunung Raung, termasuk Daerah Basuki (Jawa Timur). Beliau datang ke Bali dengan kelompok pengikutnya, dengan tujuan meluaskan ajarannya serta membuka lahan pertanian untuk pengikutnya. Sang Resih meninggalkan pengikutnya di Bali, dengan tujuan di jadikan alat atau tumbal berrkembangnya Agama Siwa. akan tetapi di timpa wabah penyakit, para pengikut Rsi Markandya banyak yang meninggal dan ditikam binatang buas serta ada yang kembali lagi ke Jawa.
Dalam masa berikutnya Rsi Markandya lagi kembali ke Bali untuk kedua kalinya. Agar kedatangannya ini memperoleh keselamatan, sebelum merabah hutan beliau terlebih dahulu mengadakan upacara mendem pedagingan (panca datu) yang terdiri dari : Emas, perak, tembaga, perunggu dan besi. Upacara dilaksanakan disebuah tempat dilereng Gunung Agung, tempat ini kemudian dikenal dengan nama Basukian.
Dalam pengembangan berikutnya basukian ini menjadi Pura Besakih, dengan ciri bangunan pelinggih berupa meru tumpang tujuh.
Para pengikut Rsi Markandya menetap didaerah pegunungan, yang sekarang termasuk wilayah payangan dan tegalalang (Kabupaten Gianyar). pura Gunung Raung yang terletak di Desa Taro, di anggap sebagai bukti adanya pemukiman pertama Rsi Markandya beserta para pengikutnya. Kedatangan Rsi Markandya ke Bali diperkirakan pada abad ke VIII. Apabila perkiraan ini benar maka berdirinya Pura Besakih di perkirakan atau satu abad sebelum berkuasanya Dinasti Warmadewa, sesuai dengan apa yang desebutkan dalam prasasti Blanjong Sanur.
Sejarah politik dari abad IX sampai XIV, direskontruksikan berdasarkan sumber – sumber tertulis, yang dipahatkan pada batu atau perunggu. Salah satu prasasti batu bertahun saka 835 (913 masehi), menunjuk keberadaan seorang raja Bali bernama Sri Kesari  Warmadewa, yang telah mengalahkan musuh – musuhnya di Gurun dan di Suwal. Disekitar tahun 913 itu Sri Wira Kesari, yang orangnya di persamakan dengan Sri Kesari Warmadewa, telah membangun sebuah tempat pemujaan di Pura Besakih. Sekarang tempat itu dikenal dengan Meranjan Selonding, sebagai tempat pemujaan terhadap Hyang Tolangkir dari Sri Dalem Kesari deanggap juga telah melakukan perluasan terhadap bangunan Pura Penataran Agung.
-       Jaman Bali Kuno
Pemerintah Raja Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Ratu Mahendradara (saudara perempuan raja Darmawangsa yang menguasai jawa timur) diperkirakan mulai 989 Masehi. Salah satu putra Udayana adalah Airlangga yang dinobatkan menjadi raja di Daha (jawa timur) menggantikan Darmawangsa. pada jaman pemerintahan Airlangga, terjadi pengaruh jawa secara intensif ke Bali, proses ini diperkirakann terjadi pada tahun 1001 Masehi.
Pada tahun 1007 Masehi, terjadi suatu peristiwa penting di Besakih, yaitu berupa pelaksanaan upacara besar yang berkaitan dengan masa kewibawaan Raja Mahendradata. Ada dua Prasasti yang memperkuat kejadian itu, yaitu: Prasasti Bhradah yang masih di simpan di Mrajan selonding Di Besakih, dan sebuah Prasasti yang di simpan di Desa Selat, yang terletak disebuah tenggara pura besakih.
Cerita masa itu, di Bali telah di kenal seorang pendeta sakti dan berpengaruh, yang bernama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan telah mewariskan suatu pengaruh yang mendalamm terhadap agama dan struktur masyarakat Bali. Bahwa atas petunjuk Mpu Kuturan, telah dilakukan perbaikan dan perluasan terhadap Pura Besakih, yang berkaitan dan berhubungan dengan peristiwa upacara penting dalam tahun 1007 Masehi itu. Sebagai bukti fisik untuk menghormati jasa Mpu Kuturan dapat dilihat dan diyakini adalah dibangaunnya Pura Peninjauan untuk pemujaan terrhadap Mpu Kuturan.
-       Jaman Pengaruh Majapahit
Pada Jaman Majapahit berkuasa di Bali kira – kira tahun 1343 Masehi, Pura Besakih lenyap tanpa cerita. Gajah Mada sebagai Mahapatih kerajaan Majapahit, telah berhasil memimpin ekspedisi militer Majapahit untuk menguasai Bali. Untuk memantapkan dan mempertahankan konsep kesetiaannya pertuhanan terrhadap kerajaan Majapahit, maka Gajah Mada menerapkan kebijaksanaan pergantian dinasti sebgai elit penguasa secara menyeluruh di Bali.
Nama Sri Kresna Kepakisan sebagai awal penguasa     Bali yang baru, dengan bersetena di kraton samprangan (kabupaten gianyar), untuk melengkapi struktur pemerintahannya atau kerajaannya, beliau mengangkat 10 orang dari keturunan Arya, tiga orang waisa, dengan di sertai sejumblah prajurit dan rakyat, serta beberapa pasukan dan pakaian kebesaran. Kepada para pembantu kerajaan ini dibagikan wilayah kekuasaan yang tersebar di seluruh Bali.
Dinasti Kresna Kepakisan pertama beliau berkantoran di samprangan, tahun 1350-an Masehi Kraton dipindahkan ke Gelgel, dan tahun 1686 Masehi, kraton beliau lagi dipindahkan ke klungkunng.
Dalam perkembangan berikutnya, dinasti Krisna Kepakisan mulai meningkatkan pemeliharaan terhadap Pura Besakih bersama para Aryanya. Penyelenggaraan upacara rutin dilaksanakan berpedoman di dalam sebuah lontar yang di kenal dengan nama Raja Purana Besakih. Lontar ini memuat tentang tata cara, jenis upakara dan upacara serta waktu pelaksanaan upacara di Besakih. Lontar ini yang dipakai pedoman oleh Raja dan Para Arya serta masyarakat dalam memelihara Pura Besakih baik fisik maupun non fisik. Dari sini menunjukan bahwa Beliau Dinasti Krisna  Kepakasinan sangat peduli dengan keberadaan Pura Besakih.
Jaman Dinasti Krisna Kepakisan juga ditulis di Besakih dua lembar tulisan yang termuat dari papan kayu, yang pertama berangka tahun 1444, dan yang kedua berangka 1458. kedua isi tulisan ini memuat tentang status desa besakih, yaitu desa yang bebas dari segala bentuk pajak, karena diberikan tugas untuk memelihara Pura Besakih. Kedua tulisan ini oleh masyarakat Hindu, khususnya masyarakat Besakih dianggap sangat keramat, karena dianggap sebagai simbol kehadiran Dewa Bhatara di Pura Penataran Agung.
Pada tahun 1458 Masehi di Besakih terkenal tokoh Manik Angkeran (Putra dari Mpu Sidimantra dari Jawa) yang membaktikan dirinya kepada Dewa Bhatara di Besakih. Tokoh ini memuat pemerajan dengan nama Pura Pamerajan Kanginan. Selanjutnya manik Angkeran diperdewakan dalam sebuah meru bertumpang sembilan. di Pura Batu Madeg.
Memperhatikan keberadaan berdirinya Merajan Manik Angkeran di Besakih, maka diperkirakan dibangunnya Pura Merajan pada pengikut baginda Raja Dinasti Krisna Kepakisan. Namun tetap Pura Besakih sebagai sentral pelaksanaan ajaran agama, khususnya dalam pelaksanaan upakara dan upacara.
Pada tahun 1460 sampai tahun 1552. Dalam Watu Renggong dari Dinasti Krisna Kepakisan memerintah di Bali. pada saat itu Bali sangat terangkat karena kemasyuran dan kejayaannya. Agama dan kebudayaan Hindu dapat perhatian yang besar, termasuk perluasan dan pemeliharaan Pura Besakih. Pada masa pemerintahannya, beliau mendatangkan beberapa Pendeta Hindu, seperti Dang Hyang Nirarta (Pendeta Siwa), Dang Hyang Astapaka (Pendeta Budha), dan Dang Hyang Angsoka (Pendeta Siwa).
Dari ketiga pendeta tersebut di atas, Dang Hyang Nirarta lah yang paling menonjol aktivitas dan jasanya di Bali, seperti Beliau mengadakan Dharma Yatra di Bali dan Lombok mendirikan beberapa tempat persembahyangan di pesisir pantai, serta memunculkan konsep pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau  Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu membangun bangunan padmasana (Padmasana Tiga di Besakih, sebagai istana Siwa sebagai perwujudan Hyang Widhi Wasa dalam tiga kemaha kuasaan-Nya, yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta juga menyempurnakan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan upakara di Besakih.
Pada Jaman Raja Dalem Watu Renggong, terjadipenyatuan konsep Siwa Budha, konsep Siwa dinamakan oleh Mpu Kuturan, dilanjukan oleh Dang Hyang Nirarta dan konsep Budha ditanamkan oleh Dang Hyang Asta Paka, hal ini dapat dilihat di hulu Panataran Agung ada arca berwujudan Dang Hyang Nirarta Astapaka dalam memimpin upacara di Pura Besakih atas perintah atau permintaan Dalem Watu Reggong.
dalam masa kedaulatan kraton semara pura di klungkung, pura besakih terus mendapat perhatian dari raja – raja Bali lainnya. Pada saat pemerintahan raja Dewa Agung istri Kania (Dewa Agung Istri Balemas) yang memerintah tahun 1822 sampai dengan 1860, telah dilaksanakan upacara besar di Besakih, yaitu upacara Eka Dasa Rudra. Dalam upacara ini dikorbankan berjenis – jenis binatang besar, seperti warak, harimau, singa serta yang lainnya. Pada saat Raja inilah terjadi pembagian pengempon pura Besakih oleh raja – raja yang ada di Bali, seperti Karangasem mendapat ngempon Pura kiduling kreteg, Penataran Agung Raja Klungkung, serta yang lainnya. Pada masa ini juga berkembang dengan pesat tentang pendirian dan pemeliharaan pedharmn yang dibangun oleh para pendamping raja, untuk menstanakan roh leluhurnya yang sudah dapat menyatu dengan Hyang Tolangkir di Gunung Agung.
Setelah masa pemerintahan Dewa Agung Istri Kania, pulau Bali diliputi oleh awan perang saudara antar kerajaan. Hal ini terjadi untuk merebut kekuasaan menggantikan Dewa Agung Istri Kania. Sampai terjadi perang berkempanjangan tidak selesai – selesai. Ahirnya Pura Besakihnya terlupakan malahan terbengkalai.
-       Jaman Bali Baru
Pada tahun 1917 di Bali terjadi gempa yang sangat besar, sehingga Pura Besakih hancur, atas dasar itu pemerintah Belanda ikut berpartisipasi untuk mereniopasi Pura Besakih bersama – sama dengan raja – raja yang ada di Bali saat itu. Lebih lanjud pada tahun 1933 di Pura Besakih di langsungkan upacara Panca Bali Krama untuk menyucikan penrenopasian Pura Besakih. Pada jaman Bali baru ini juga Belanda ikut berperan dalam mempelancar umat mengadakan persembahyangan ke Pura Besakih dengan cara membuat jalan menuju pura yang terbesar di Bali.
Pada jaman Kemerdekaan yaitu tahun 1960, di Besakih kembali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama, yang diprakarsai oleh Kabupaten – Kabupaten yang pada mulanya menjadi pengelola Pura Besakih, seperti Kabupaten Kelungkung, Karangasem, Gianyar Dan Badung. sedlanjutnya pada tahun awal 1963 di Pura Besakih dilangsungkan upacara Eka Desa Rudra, oleh umat Hindu di Bali mempercayakan kepada Dewa Agung Klungkung sebagai koordinator  penyelenggaraan upacara. Dari sini  masih terlihat peranan raja sebagai penanggung jawab Pura Besakih masih diakui.
Pada akhir tahun 1963 Pura Besakih mengelami kerusakan, karena di goyang oleh gunung Agung meletus, pada saat itu Pura Besakih menjadi perhatian pemerintah Indinesia, malaha  oleh Dunia, sehingga datang berbagai bantuan untuk perbaikan Pura Besakih, untuk perbaikan ini di ambil alih oleh pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Upacara Ngetek Linggih sebagai awal renopasi dimulai tahun 1968, dan baru selesai direnopasi pada tahun 1978, untuk upacara penyucian diadakan upacara Panca Bali Krama, setahun kemudian yaitu tahun 1979 diadakan upacara Eka Dasa Rudra. yang di hadiri oleh seluruh umat Hindu, dan juga di hadiri oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto Dan Ibu Negara.
2.2. Perkembangan Keberadaan Pura Penataran Agung Basakih
Kompleks Pura Besakih di samping sebagai tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan fungsinya, terdapat juga kompleks pemujaan para leluhur. Leluhur yang dipuja itu adalah leluhur yang telah mencapai tahap Dewa Pitara. Tempat pemujaan di empat penjuru Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan. Di timur Pura Gelap sebagai tempat memuja Dewa Iswara. Di selatan Pura Kiduling Kreteg sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma. Di barat Pura Hulun Kulkul sebagai tempat pemujaan Dewa Mahadewa dan di utara Pura Batu Madeg tempat pemujaan Dewa Wisnu.
Demikianlah berbagai manifestasi Tuhan yang disebut Dewa atau Batara itu dipuja di berbagai kompleks pura di Besakih. Sedangkan tempat pemujaan para leluhur di Besakih disebut Pura Padharman. Fungsi pura memang ada dua yaitu Dewa Pratistha adalah pura untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan. Atma Pratistha pura untuk memuja roh suci leluhur. Di Besakih juga demikian ada pura untuk memuja para Dewa dan ada pura untuk memuja leluhur yang sudah mencapai tahap Dewa Pitara.
Pura Padharman adalah pura untuk memuja leluhur yang sudah suci yang disebut Dewa Pitara. Di Besakih ada banyak Pura Padharman. Salah satu adalah Pura Padharman Pasek. Di pura ini sebagai tempat pemujaan leluhur warga Pasek. Warga Pasek telah memiliki suatu lembaga bersama yang disebut Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Dengan lembaga yang cukup solid itulah Pura Padharman tersebut dikembangkan sehingga memiliki fungsi yang semakin luas sesuai dengan tuntutan zaman.
Memang pura bukanlah semata-mata sebagai tempat sembahyang dan tempat menyelenggarakan upacara yadnya. Pura Padharman Pasek ini sudah banyak dikembangkan dengan berbagai bangunan pelengkap, sehingga di Pura Padharman Pasek ini dapat berfungsi sebagai pura untuk mengembangkan pendidikan kerohanian baik untuk mendidik calon-calon pinandita maupun pandita.
Meskipun Pura Padharman Pasek ini sudah sedemikian dikembangkan tetapi tidak mengurangi fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru dan Mpu Kuturan. Bahkan dalam pengembangan selanjutnya juga didirikan Pelinggih Pepelik sebagai Penyawangan Mpu Gana, Mpu Beradah. Krena Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Beradah adalah lima pandita bersaudara yang disebut Pandita Panca Tirtha.
Mpu Geni Jaya tempat pemujaan utama beliau di Pura Lempuyang Madia sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Sedangkan di Padharman sebagai pemujaan penyawangan. Pura Kawitan memang beda dengan Pura Padharman. Pendirian Pura Padharman di Pura Besakih itu lebih menekankan pada kebijaksanaan penguasa saat itu sebagai media untuk mendudukkan berbagai kelompok warga di Bali dalam posisi setara dan bersaudara. Ini berarti kebijaksanaan raja saat itu menerapkan ajaran agama sabda Tuhan menjadi sistem religi menata sistem sosial untuk membangun dinamika sosial yang harmonis produktif.
Sepanjang pengetahuan, Pura Padharman di Besakih tidak dibeda-bedakan. Maksudnya tidak ada Pura Padharman yang utama, madya dan nista. Apalagi Pura Padharman Pasek sangat jelas yang dipuja di sana adalah para pandita besar seperti Mpu Geni Jaya dengan saudara-saudara beliau Sang Panca Pandita.
Di Pura Padharman Pasek, Mpu Geni Jaya dipuja di Pelinggih Meru Tumpang Tiga (6), Mpu Semeru di Pelinggih Meru Tumpang Tujuh (5). Sedangkan Mpu Kuturan di Pelinggih Manjangan Saluwang (3). Tentang Palinggih Manjangan ini umumnya terdapat pada Merajan Gede keluarga Hindu di Bali. Keberadaan Pura Padharman Pasek ini berdiri di sebelah kanan Pura Panataran Agung Besakih.
Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu raja mendudukkan dengan setara Maha Gotra Sanak Sapta Resi di kerajaan di Bali. Warga Pasek bukanlah warga keturunan Sudra. Warga Pasek adalah keturunan Brahmana. Karena leluhur warga Pasek di Bali dari Mpu Geni Jaya yang menurunkan Sapta Resi. Dari Sapta Resi inilah selanjutnya menurunkan Warga Pasek.
Dalam proses sejarah warga Pasek tidak lagi memegang kekuasaan seperti menjadi raja maupun petinggi-petinggi kerajaan yang lainnya. Karena tidak memegang jabatan maka gelar-gelar jabatan dalam kerajaan pun tidak dipakainya sebagai sebutan di depan namanya. Umumnya warga Pasek menggunakan sebutan Wayan, Made, Nyoman dan Ketut sebagai sebutan di depan namanya.
Karena tidak berada dalam lingkar kekuasaan kerajaan, warga Pasek disebut orang Jaba. Dalam kenyataannya yang disebut orang Jaba tidak semata-mata dari warga Pasek, dari keturunan Arya dan warga-warga lainnya seperti warga Pande Bujangga Waisnawa ada juga disebut orang Jaba. Yang dimaksud Jaba itu adalah orang yang berada di luar jabatan kerajaan.
Banyak dari orang-orang yang disebut Jaba itu karena tersingkir dalam ''permainan'' kekuasaan. Karena proses sejarah juga lama-kelamaan orang Jaba itu diidentikkan dengan Sudra. Kesalahpahaman ini terjadi karena permainan kekuasaan juga saat itu.
Keturunan Danghyang Dwijendra di Bali disebut Brahmana. Danghyang Dwijendra sendiri adalah keturunan dari Mpu Beradah. Mpu Geni Jaya, leluhur Maha Gotra Sanak Sapta Resi, itu adalah saudara dari Mpu Beradah. Secara logika keturunan Mpu Geni Jaya pun sesungguhnya Brahmana Wangsa. Tetapi faktanya dalam masyarakat tidak demikian. Itulah sejarah. Ke depan sejarah seperti itu sebaliknya tidak terulang lagi di Bali. Jadikan semuanya itu sebagai pelajaran saja untuk lebih jujur menjalankan sejarah.
Sejarah yang pahit itu tidak perlu diperuncing lagi, untuk selanjutnya jangan ada kekuasaan untuk merendahkan sesama warga. Marilah bangun lagi kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan dalam kehidupan bersama ini.


BAB III

PENUTUP

3.1.  Kesimpulan

Kompleks Pura Agung Besakih terdiri dari satu pura pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih dan 18 pura pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura lainnya). Di Pura Basukian, di tempat inilah pertama kali diterimanya wahyu dari Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal agama Hindu Dharma di Bali. Sedangkan di Pura Penataran Agung yang merupakan pura terbesar di kompleks ini terdapat 3 arca atau candi utama yang merupakan simbol dari sifat Tuhan Trimurti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa.
Kompleks Pura Besakih di samping sebagai tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan fungsinya, terdapat juga kompleks pemujaan para leluhur. Leluhur yang dipuja itu adalah leluhur yang telah mencapai tahap Dewa Pitara. Tempat pemujaan di empat penjuru Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan. Di timur Pura Gelap sebagai tempat memuja Dewa Iswara. Di selatan Pura Kiduling Kreteg sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma. Di barat Pura Hulun Kulkul sebagai tempat pemujaan Dewa Mahadewa dan di utara Pura Batu Madeg tempat pemujaan Dewa Wisnu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGIATAN PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS KPM, BUMDes, DESAIN DAN RAB

Kamis 7 Desember 2023 Pemerintah Desa Terusan Makmur dan Pemerintah Desa Terusan Mulya mengadakan kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB. Peserta Pelatihan terdiri dari Perangkat Desa, BUMDes, KPM dan Kader Posyandu. Jumlah Narasumber ada 6 diantaranya:  1. HENDRANO, S.P dan RIJALI RAHMAN, S.Pd.I Judul Materi Pemahaman Administrasi BUMDes  2. YUDIANTO,S.H dan ELISE, S.P Judul Materi Pelatihan KPM dan Posyandu  3. SUYONO, S.T dan TITI YULIANTI, S.Pd.I Judul Pelatihan materi Desain RAB kegiatan pelatihan ini dilaksanakan di Aula Kantor Desa Terusan Makmur.  harapan PLH. Kades Terusan Makmur Bapak Anang Amunddin, S.Pd terhadap seleruh pesesta pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB yaitu  1. dapat menambah pengetahuan dalam bidang masing-masing  2. dapat diterapkannya setelah mengikuti pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB ini.

DEWATA NAWA SANGA

Dewata Nawa Sanga, 9 Dewa Peguasa Mata Angin 1. Definisi Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa. 2. Penjelasan Tentang Atribut Dewata Nawasanga a. Dewa Wisnu Arah : Utara/Uttara Pura : Batur Aksara : Ang Senjata : Cakra Warna : Hitam Urip : 4 Panca Wara : Wage Sapta Wara : Soma Sakti : Dewi Sri Wahana : Garuda Fungsi : Pemelihara b. Dewa Sambhu Arah : Timur Laut/Airsanya Pura : Besakih Aksara : Wang Senjata : Trisula Warna : Biru/Abu-Abu Urip : 6 Panca Wara : Sapta Wara : Sukra Sakti : Dewi Mahadewi Wahana : Wilmana c. Dewa Iswara Arah : Timur/Purwa Pura : Lempuyang Aksara : Sang Senjata : Bajra Warna : Putih Urip : 5 Panca Wara : Umanis Sapta Wara : Redite Sakti : Dewi Uma Wahana : Gajah Putih d. Dewa

LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN

  LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar belakang Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi , yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya. Ada dua alasan mengapa para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan. Pertama, karena pendidikan bersifat normatif maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi atau sesuatu titik tolak yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif tersebut an