Ajaran Catur Marga Yoga Berdimensi Sosial Politik
Sebelum mengulas
tentang alasan mengapa ajaran Catur Marga Yoga dikatakan berdimensi politik,
alangkah baiknya kita memahami tentang ajaran Catur Marga Yoga terlebih dahulu.
Berikut penjelasan tentang ajaran Catur Marga Yoga :
1. Pengertian
ajaran Catur Marga Yoga
Catur Marga Yoga ialah
empat jalan atau cara mengamalkan agama Hindu (Veda) dalam kehidupan dan dalam
bermasyarakat. Oleh karena keadaan dan kemampuan lahir-batin umat Hindu tidak
semua sama maka Veda mengajarkan Catur Marga (empat jalan) agar semua umat dapat
beragama sesuai kemampuannya sehingga dapat mencapai bersatunya atman dengan
paraatman.
2.
Bagian-bagian ajaran Catur Marga Yoga
a. Bhakti
Marga Yoga (sembahyang)
yaitu mengamalkan agama dengan
melaksanakan bhakti/sembahyang, cinta kasih terhadap sesama ciptaan Tuhan, baik
sesama manusia maupun dengan makhluk lain yang lebih rendah dari manusia yang
disertai sarana bhakti. Jadi apabila orang telah bersembahyang dan hidup kasih
sayang terhadap sesama makhluk itu berarti telah mengamalkan ajaran Veda
melalui jalan bhakti.
b. Karma
Marga Yoga (berperilaku)
yaitu jalan atau usaha untuk mencapai
Jagadhita dan Moksa dengan melakukan perbuatan baik (Subha
Karma), serta melakukan kewajiban demi untuk mengabdi, berbuat amal kebajikan
untuk kesejahteraan umat manusia
dan sesama makhluk.
c.
Jnana Marga Yoga (ilmu pengetahuan)
yaitu jalan menuju Yang Maha Kuasa
dengan menggunakan sarana belajar, yang nantinya dapat diaplikasikan bagi
kesejahteraan umat manusia dan kelestarian alam ini.
d. Raja
Marga Yoga (meditasi)
yaitu pengendalian panca indria untuk mencapai tujuan terakhir dari samadhi
sebagai salah
satu jalan atau cara umat Hindu untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa,
Setelah
memahami tentang pengertian dan pembagian Catur Marga Yoga diatas mari kita
ulas alasan mengapa ajaran catur marga yoga dikatakan berdimensi sosial
politik. Alasan mengapa ajaran Catur Marga Yoga dikatakan berdimensi sosial
politik dapat kita lihat dari pembagian Catur Marga Yoga tersebut. Keempat
ajaran ini menjelaskan tentang jalan kebenaran yang dapat di tempuh oleh
manusia untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Jika dilihat dari dimensi sosial
politik, keempat jalan ini dapat digunakan oleh manusia yang terjun dalam dunia
politik sebagai jalan untuk menjadi seorang politikus yang baik yang
kesehariannya bergelut dalam dunia politik yang penuh dengan
pertimbangan-pertimbangan yang matang didalam memimpin dan mengambil keputusan.
a.
Bhakti Marga Yoga,
Seorang yang terjun dalam
dunia politik tidak boleh lupa dengan adanya kekuatan Tuhan Yang Maha Esa,
mereka dapat menggunakan jalan ini didalam mengambil keputusan-keputusan yang
sulit. Segala sesuatu pasti akan dapat diselesaikan dengan bantuan Beliau.
b.
Karma Marga Yoga,
Berpolitik dengan jalan berbuat baik tidak menyimpang dari
tugas dan kewajibannnya, sangat wajib dilakukan oleh setiap orang yang terjun
dalam dunia politik karena tugas-tugas yang diembannya akan dapat terselesaikan
dengan baik.
c.
Jnana Marga Yoga,
Seseorang yang tgerjun
kedunia politik tanpa di bekali dengan ilmu pengetahuan tidak akan bisa mengambil
keputusan-keputusan danpertimbangan-pertimbangan politik yang baik. Dengan jalan ilmu pengetahuan, mereka akan
mampu menjadi seorang politikus yang baik karena mampu mengambil keputusan yang
tepat.
d. Raja
Marga Yoga,
Dengan berbagai macam
tugas yang harus diemban dalam politik seorang politikus memerlukan ketenangan,
untuk itu jalan Raja Marga Yoga menjadi pilihan yang sangat tepat.
Makna Pakaian Adat Ke Pura
Di Bali yang kental akan nuansa adat dan
budaya, tentu saja memiliki banyak filosofi didalamnya. Bali yang
dikenal juga dengan nama seribu Pura. Pura adalah tempat suci umat Hindu
di Bali yang digunakan sebagai tempat persembahyangan. Tentu saja
ketika persembahyangan akan dilakukan yang perlu dipersiapkan dari segi
sarana sembahyang, dan pakaian, yang merupakan suatu simbol kita
benar-benar ada persiapan yang begitu dalam untuk memuja Beliau (Ida
Hyang Widhi Wasa). Seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi
yang banyak memberikan perubahan, memberikan
imbas juga kepada cara berpakaian adat ke pura di Bali, terutama cara
berpakaian anak muda yang mengikuti saja arus yang sedang tren. Memang
cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu
tapi perlu diketahui, apa sebenarnya makna dari pakaian adat ke pura ?
- Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian.
- Terbagi atas 3 bagian
a. Atas : Kepala (Dewa)
Untuk putra mengenakan
udeng, dan wanita rambutnya diikat rapi. Di bagian kepala yang kerap
diistilahkan Prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa. Akal, Pikiran,
serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi. Awalnya
agar adanya keseragaman PHDI (Parisadha Hindu Darma Indonesia)
menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna Putih agar menciptakan
kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Serta ujung udeng, atau
muncuk udeng harus lurus keatas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai
memantapkan sang pemakai berfikir lurus, memuja Yang Diatas. Tapi
simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi
(mereng ke-kiri atau ke-kanan, hehe).
b. Tengah : Dada-Pinggang (Manusa)
Melambangkan manusia
itu sendiri. Maksudnya pakaian yang layak pakai, nyaman. Yang bisa
membuat sang penggunanya kushuk saat bersembahyang. Disarankan lagi yang
berwarna Putih.
c. Bawah : Pinggang-Ujung (Bhuta)
Bhuta atau raksasa yang
menempati alam bawah, simbol keburukan yang tidak akan pernah lepas
dari diri manusia. Umumnya dikenakan Kamen atau kain yang membalut dari
pinggang sampai kaki. Yang perlu diperhatikan adalah ikatan selendang
yang mengikat pinggang, haruslah kuat karena simbol bhuta tidak akan
bisa memasuki tubuh manusia keatas apalagi ke dewa.Makna Filosofis Pakaian adat
Bapak Wayan Gunarta Lebih menekankan pada Makna Filosofis Pakaian adat yaitu :a. Busana adat ke pura untuk putra Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kain/kamen, dengan lipatan untuk putra kamen/ wastra melingkar dari kiri kekanan karena merupakan pemegang Dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar. Saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju , umpal harus terlihat sedikit agar kita pada sat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat kepura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi pada bagian baju sebenarnya tida ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan menggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yakni: 1). udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.udeng jejateran memiliki dua bebidakan yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup lemabnagkan Dewa wisnu, udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan amsih meminta. 2. Udeng dara kepak (dipakai oleh raja), masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan.3. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
b. Busana adat ke Pura untuk putri. Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan memakai kamen tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma. Tinggi kamen putrid kra-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng diikat menggunakan simpul hidup dikiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang diluar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma, dilanjutkan dengan menggunakan baju(kebaya). Serta pepusungan ada tiga yaitu :1. Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai,pusung gonjer di gunakan untuk putri yang masih lajang/ belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti2. Pusung Tagel adalah untuk putrid yang sudah menikah.3. Pusung podgala/pusung kekupu yaitu cempaka putih, cemapak kuning, sandat sebagai lambing Tri Murti
Komentar
Posting Komentar