Langsung ke konten utama

kepemimpinan hindu

KEPEMIMPINAN HINDU

Pemimpin dan Kepemimpinan
Istilah pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “bimbing atau tuntun”. Kata kerja dari kata dasar ini, yaitu “memimpin” yang berarti “membimbing atau menuntun”. Dari kata dasar ini pula lahirlah istilah “pemimpin” yang berarti “orang yang memimpin” (Tim Penyusun,2005:874). Kata pemimpin mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris “leader”.
Sementara itu kata “pemimpin” mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kata “kepemimpinan”. Kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki dari seorang pemimpin. Dengan kata lain, kepemimpinan juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memimbing dan menuntun seseorang. Jika tadi kata pemimpin mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris (leader), maka kepemimpinan juga mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris yaitu leadership. Kata ini berasal dari kata dasar “lead” yang dalam Oxford Leaner’s Pocket Dictionary (Manser, et all.,1995 : 236) diartikan sebagai “show the way, especially by going in front”. Sementara itu kata “leadership” diartikannya sebagai “qualities of a leader”.
Secara umum, kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan untuk mengkoordinir dan mengerahkan orang-orang serta golongan-golongan untuk tujuan yang diinginkan (Tim Penyusun,2004:78). Menurut William H.Newman (1968) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Bahasan mengenai pemimpin dan kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin yang baik, gaya dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta syarat-syarat apa yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik.
Menyimak pengertian di atas maka terkait dengan kepemimpinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikut. Kedua, dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara pemimpin dan yang dipimpin. Ketiga, kepemimpinan merupakan kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Keempat, kepemimpinan adalah suatu nilai (values), suatu proses kejiwaan yang sulit diukur.
Kepemimpinan dalam Hindu
Dalam agama Hindu, banyak ditemukan istilah yang menunjuk pada pengertian pemimpin. Ajaran atau konsep kepemimpinan (leadership) dalam Hindu dikenal dengan istilah Adhipatyam atau Nayakatvam. Kata “Adhipatyam” berasal dari “Adhipati” yang berarti “raja tertinggi” (Wojowasito, 1977 : 5). Sedangkan “Nayakatvam” dari kata “Nayaka” yang berarti “pemimpin, terutama, tertua, kepala” (Wojowasito, 1977 : 177).
Di samping kata Adhipati dan Nayaka yang berarti pemimpin terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk seorang pemimpin, yaitu: Raja, Maharaja, Prabhu, Ksatriya, Svamin, Isvara dan Natha. Di samping istilah-istilah tersebut di Indonesia kita kenal istilah Ratu atau Datu, Sang Wibhuh, Murdhaning Jagat dan sebagainya yang mempunyai arti yang sama dengan kata pemimpin namun secara terminlogis terdapat beberapa perbedaan (Titib, 1995 : 3).
Asal-usul seorang pemimpin sebenarnya telah ditegaskan dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9) sebagaimana telah disebutkan di muka, yang secara jelas menyatakan bahwa seorang pemimpin berasal dari warga negara atau rakyat. Tentunya yang dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah benar-benar memiliki kualifikasi atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah sejalan dengan bakat dan kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa Sanskerta disebut dengan Varna. kata Varna dari urat kata “Vr” yang artinya pilihan bakat dari seseorang (Titib, 1995 : 10).
Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut Ksatriya, karena kata ksatriya artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia adalah seorang Brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat seperti pedagang, bussinessman, petani, nelayan dan sebagainya.
Dalam sejarah Hindu banyak contoh pemimpin yang perlu dijadikan suri teladan. Di setiap jaman dalam sejarah Hindu selalu muncul tokoh yang menjadi pemimpin. Sebut saja Erlangga, Sanjaya, Ratu Sima, Sri Aji Jayabhaya, Jayakatwang, Kertanegara, Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan masih banyak lagi lainnya. Di era sekarang banyak tokoh Hindu yang juga dapat dijadikan sebagai panutan/pimpinan seperti : Mahatma Gandhi, Svami Vivekananda, Ramakrsna, Sri Satya Sai dan sebagainya.
Selain itu contoh kepemimpinan Hindu yang ideal dapat ditemukan dalam cerita Itihasa dan Purana. Banyak tokoh dalam cerita tersebut yang diidealkan menjadi pemimpin Hindu. Misalnya: Dasaratha, Sri Rama, Wibhisana, Arjuna Sasrabahu, Pandudewanata, Yudisthira dan lain-lain.
Umumnya dalam cerita Itihasa dan Purana antara pemimpin (Raja) tidak bisa dipisahkan dengan Pandita sebagai Purohito (penasehat Raja). Brahmana ksatriya sadulur artinya penguasa dan pendeta sejalan. “Raja tanpa Pandita lemah, Pandita tanpa Raja akan musnah”. Misalnya : Bhatara Guru dalam memimpin Kahyangan Jonggring Salaka dibantu oleh Maharsi Narada sebagai penasehat-Nya, Maharaja Dasaratha ketika memimpin Ayodya dibantu oleh Maharsi Wasistha, Maharaja Pandu dalam memimpin Astina dibantu oleh Krpacharya dan sebagainya.
Kepemimpinan Hindu dan Niti Sastra
Kitab atau susastra Hindu yang banyak mengulas tentang konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di dalamnya disebut dengan kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata Sanskerta “niti (NaqiTa)” yang berarti “bimbingan, dukungan, bijaksana, kebijakan, etika” (Surada,2007:190). Zoetmulder (2006:707) mengartikan kata “niti” sebagai “ cara bekerja dengan baik dan benar; tingkah laku yang bijaksana; ilmu tata negara atau politik; kebijaksanaan politik; kebijaksanaan duniawi; taktik atau rencana yang baik; garis perbuatan; rencana”. Nitisastra sendiri menurut Zoetmulder (2006:708) merupakan ilmu atau karya mengenai etika politik.
Dengan demikian ruang lingkup niti sastra tentu sangat luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut maka “niti sastra” dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik.
Selama ini fokus atau pokok bahasan yang menjadi topik dari niti sastra adalah Kautilya Artha Sastra. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, Kautilya adalah ahli politik dan kenegaraan tersohor; Kedua, kelengkapan dan kecermatan Kautilya dalam menyusun karyanya; Ketiga, bahasanya sangat mendetail; Keempat, perbandingan opini penyusun sebelumnya; Kelima, ketersediaan dokumen dan hanya dokumen Kautilya Artha Sastra ditemukan secara utuh.
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari niti sastra. Mengingat, pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti sastra) di bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih relevan sampai kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang memberi kontribusi perkembangan konsep-konsep selanjutnya  di India, Asia bahkan, dunia. Adapun kontribusi niti sastra dalam peradaban global antara lain :
  • Pemikiran dalam niti sastra dapat memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam pengembangan, pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik, ketatanegaraan, ekonomi, peraturan hukum era kini.
  • Usaha menggali, mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai sumbangan Hindu dalam percaturan dunia keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik itu kotor dapat hilang.
Konsep-konsep Kepemimpinan Hindu
Dalam konsep kepemimpinan Barat yang lebih banyak dijadikan dasar adalah sikap dan tingkah laku dari para pemimpin-pemimpin besar di dunia. Oleh kerena itu mereka banyak mengemukakan jenis-jenis kepemimpinan yang sesuai dengan tokoh personalnya, seperti : kepemimpinan Karismatik, kepemimpinan Paternalistik, kepemimpinan Maternalistik, kepemimpinan Militeristik, kepemimpinan Otokrasi, kepemimpinan Lassez Faire, kepemimpinan Populistik, kepemimpinan Eksekutif, kepemimpinan Demokratik, kepemimpinan Personal, kepemimpinan Sosial dan masih banyak lagi lainnya.
Lain halnya dengan konsep kepemimpinan Hindu. Selain dasar tersebut, yang terutama sekali kepemimpinan Hindu bersumber dari kitab suci Weda dan diajarkan oleh para orang-orang suci. Kepemimpinan Hindu juga banyak mengacu pada tatanan alam semesta yang merupakan ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun konsep-konsep Kepemimpinan Hindu yang banyak diajarkan dalam sastra dan susastra-nya antara lain : Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Pañca Upaya Sandi, Asta Brata, Nawa Natya, Pañca Dasa Paramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Pañca Satya dan lain-lain. Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.
Sad Warnaning Rajaniti
Sad Warnaning Rajaniti atau Sad Sasana adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang raja. Konsep ini ditulis Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance of Hindu Politiy”. Adapun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti ini adalah :
  1. Abhigamika, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya.
  2. Prajña, artinya seorang raja atau pemimpin harus bijaksana.
  3. Utsaha, artinya seorang raja atau pemimpin harus memiliki daya kreatif yang tinggi.
  4. Atma Sampad, artinya seorang raja atau pemimpin harus bermoral yang luhur.
  5. Sakya samanta, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang baik.
  6. Aksudra Parisatka, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para menterinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Catur Kotamaning Nrpati
Catur Kotamaning Nrpati merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada jaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit”.  Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut adalah :
  • Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci atau ajaran agama (agama agëming aji).
  • Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan dalam Kakawin Niti Sastra I.10 berikut ini :
Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi juga selalu dijaga oleh hutan. Jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah, lalu singa itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak binasakan orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang, singa yang lari bersembunyi dalam curah, di tengah-tengah ladang, diserbu dan dibinasanakan.
  • Kawiryan, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwatak pemberani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya sebagainya disebutkan pada syarat sebelumnya.
  • Wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Raja yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya.
Tri Upaya Sandhi
Di dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki tiga  upaya agar dapat menghubungkan diri dengan rakyatnya. Adapun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah :
  • Rupa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan begitu ia akan tahu apakah rakyatnya sedang dalam kesusahan atau tidak.
  • Wangsa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi sosial) agar dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
  • Guna, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian dari rakyatnya sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
Pañca Upaya Sandhi
Dalam Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab raja. Adapun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi ini adalah :
  • Maya, artinya seorang pemimpin perlu melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau permasalahan yang masih belum jelas duduk perkaranya (maya).
  • Upeksa, artinya seorang pemimpin harus meneliti dan menganalisis semua data-data tersebut dan mengkodifikasikan secara profesional dan proporsional.
  • Indra Jala, artinya seorang pemimpin harus bisa mencarikan jalan keluar dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan hasil analisisnya tadi.
  • Wikrama, artinya seorang pemimpin harus melaksanakan semua upaya penyelesaian dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
  • Logika, artinya seorang pemimpin harus mengedepankan pertimbangan-pertimbangan logis dalam menindak lanjuti penyelesaian permasalahan yang telah ditetapkan.
Asta Brata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibhisana sebelum ia memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut ini
Hendaknya raja berbuat seperti perilaku yang sama dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Prthiwi (Pudja dan Sudharta,2002:607).
Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai berikut:
Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang Hyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan. Semua beliau itu menjadi pribadi sang raja. Oleh karena itulah beliau harus memuja Asta Brata (Tim Penyusun,2004:98).
Ada perbedaan sedikit antara konsep Asta Brata dalam Pustaka Suci Manu Smrti dan Kakawin Ramayana. Pada Pustaka Suci Manu Smrti disebutkan Prthiwi Brata sementara itu pada Kakawin Ramayana disebutkan Kwera Brata. Semua raja harus memuja Asta Brata ini. Karena Asta Brata ini merupakan delapan landasan sikap mental bagi seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta Brata tersebut adalah :
  • Indra Brata, kepemimpinan bagaikan Dewa Indra atau Dewa Hujan; Di mana hujan itu berasal dari air laut yang menguap. Dengan demikian seorang pemimpin berasal dari rakyat harus kembali mengabdi untuk rakyat.
  • Yama Brata, kepemimpinan yang bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu bagaikan Sang Hyang Yamadipati yang mengadili Sang Suratma.
  • Surya Brata, kepemimpinan yang mampu memberikan penerangan kepada warganya bagaikan Sang Surya yang menyinari dunia.
  • Candra Brata, mengandung maksud pemimpin hendaknya mempunyai tingkah laku yang lemah lembut atau menyejukkan bagaikan Sang Candra yang bersinar di malam hari.
  • Bayu Brata,  mengandung maksud pemimpin harus mengetahui pikiran atau kehendak (bayu) rakyat dan memberikan angin segar untuk para kawula alit atau wong cilik sebagimana sifat Sang Bayu yang berhembus dari daerah yang bertekanan tinggi ke rendah.
  • Baruna Brata, mengandung maksud pemimpin harus dapat menanggulangi kejahatan atau peyakit masyarakat yang timbul sebagaimana Sang Hyang Baruna membersihkan segala bentuk kotoran di laut.  
  • Agni Brata, mengandung maksud pemimpin harus bisa mengatasi musuh yang datang dan membakarnya sampai habis bagaikan Sang Hyang Agni.
  • Kwera atau Prthiwi Brata, mengandung maksud seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dan bisa menghemat dana sehemat-hematnya seperti Sang Hyang Kwera dalam menata kesejahteraan di kahyangan.
Nawa Natya
Dalam Lontar Jawa Kuno yang berjudul “Nawa Natya” dijelaskan bahwa seorang raja dalam memilih pembantu-pembantunya (menterinya). Ada sembilan kriteria yang harus diperhatikan oleh seorang raja dalam memilih para pembantunya. Sembilan kriteria inilah yang dikenal sebagai Nawa Natya. Adapun kesembilan kriteria itu adalah:
1.    Prajña Nidagda (bijaksana dan teguh pendiriannya).
2.    Wira Sarwa Yudha (pemberani dan pantang menyerah dalam setiap medan perang).
3.    Paramartha (bersifat mulia dan luhur)
4.    Dhirotsaha (tekun dan ulet dalam setiap pekerjaan)
5.    Wragi Wakya (pandai berbicara atau berdiplomasi)
6.    Samaupaya (selalu setia pada janji)
7.    Lagawangartha (tidak pamrih pada harta benda)
8.    Wruh Ring Sarwa Bastra (bisa mengatasi segala kerusuhan)
9.    Wiweka (dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk)
Pañca Dasa Pramiteng Prabhu
Dalam Lontar Negara Kertagama, Rakawi Prapañca menuliskan keutamaan sifat-sifat Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit. Sifat-sifat utama itu pula yang mengahantarkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sifat-sifat utama tersebut ada 15 yang disebut sebagai Pañca Dasa Pramiteng Prabhu. Adapun kelima belas bagian dari Pañca Dasa Pramiteng Prabhu tersebut adalah :
1.        Wijayana (bijaksana dalam setiap masalah)
2.        Mantri Wira (pemberani dalam membela negara)
3.        Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin)
4.        Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya)
5.        Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan)
6.        Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi)
7.        Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati)
8.        Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha)
9.        Teulelana (teguh iman dan optimistis)
10.    Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi)
11.    Dibyacita (lapang dada dan toleransi)
12.    Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara)
13.    Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam)
14.    Sumantri (menjadi abdi negara yang baik)
15.    Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari pebuatan buruk)
Sad Upaya Guna
Dalam Lontar Rajapati Gondala dijelaskan ada enam upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam memimpin negara. Keenam upaya ini disebut juga sebagai Sad Upaya Guna. Adapun keenam upaya tersebut adalah : Siddhi (kemampuan bersahabat); Wigrha (memecahkan setiap persoalan); Wibawa (menjaga kewibawaan); Winarya (cakap dalam memimpin); Gascarya (mampu menghadapi lawan yang kuat) dan Stanha (menjaga hubungan baik).
Dalam lontar yang sama disebutkan pula ada 10 macam orang yang bisa dijadikan sahabat oleh Raja. Kesepuluh macam tersebut adalah orang yang :
  1. Satya (jujur)
  2. Arya (orang besar/mulia)
  3. Dharma (baik)
  4. Asurya (dapat mengalahkan musuh)
  5. Mantri (bisa mengabdi dengan baik)
  6. Salya Tawan (banyak kawannya)
  7. Bali (kuat dan sakti)
  8. Kaparamarthan (mempunyai visi yang jelas)
  9. Kadiran (tetap pendiriannya)
  10. Guna (banyak ilmunya)
Pañca Satya
Selain upaya, sifat dan kriteria sebagaimana yang telah disebutkan di atas, masih ada satu lagi landasan bagi pemimpin Hindu dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Landasan ini ada lima yang dikenal sebagai Pañca Satya. Lima Satya ini harus dijadikan sebagai landasan bagi seorang pemimpin Hindu di manapun dia berada. Kelima landasan itu adalah :
  1. Satya Hrdaya (jujur terhadap diri sendiri / setia dalam hati)
  2. Satya Wacana (jujur dalam perkataan / setia dalam ucapan)
  3. Satya Samaya (setia pada janji)
  4. Satya Mitra (setia pada sahabat)
  5. Satya Laksana (jujur dalam perbuatan)
Kelima ini juga harus dijadikan pedoman dalam hidupnya. Sehingga ia akan menjadi seorang pemimpin yang hebat, berwibawa, disegani dan sebagainya.
Tingkat keberhasilan dari seorang pemimpin dalam memimpin itu sendiri ditentukan oleh dua faktor, yaitu : faktor usaha manusia (Manusa atau jangkunging manungsa) dan faktor kehendak Tuhan (Daiwa atau jangkaning Dewa). Sementara tingkat keberhasilannya bisa berupa penurunan (Ksaya), tetap atau stabil (Sthana) dan peningkatan atau kemajuan (Vrddhi) (Kautilya,2004:392-393)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGIATAN PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS KPM, BUMDes, DESAIN DAN RAB

Kamis 7 Desember 2023 Pemerintah Desa Terusan Makmur dan Pemerintah Desa Terusan Mulya mengadakan kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB. Peserta Pelatihan terdiri dari Perangkat Desa, BUMDes, KPM dan Kader Posyandu. Jumlah Narasumber ada 6 diantaranya:  1. HENDRANO, S.P dan RIJALI RAHMAN, S.Pd.I Judul Materi Pemahaman Administrasi BUMDes  2. YUDIANTO,S.H dan ELISE, S.P Judul Materi Pelatihan KPM dan Posyandu  3. SUYONO, S.T dan TITI YULIANTI, S.Pd.I Judul Pelatihan materi Desain RAB kegiatan pelatihan ini dilaksanakan di Aula Kantor Desa Terusan Makmur.  harapan PLH. Kades Terusan Makmur Bapak Anang Amunddin, S.Pd terhadap seleruh pesesta pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB yaitu  1. dapat menambah pengetahuan dalam bidang masing-masing  2. dapat diterapkannya setelah mengikuti pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB ini.

DEWATA NAWA SANGA

Dewata Nawa Sanga, 9 Dewa Peguasa Mata Angin 1. Definisi Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa. 2. Penjelasan Tentang Atribut Dewata Nawasanga a. Dewa Wisnu Arah : Utara/Uttara Pura : Batur Aksara : Ang Senjata : Cakra Warna : Hitam Urip : 4 Panca Wara : Wage Sapta Wara : Soma Sakti : Dewi Sri Wahana : Garuda Fungsi : Pemelihara b. Dewa Sambhu Arah : Timur Laut/Airsanya Pura : Besakih Aksara : Wang Senjata : Trisula Warna : Biru/Abu-Abu Urip : 6 Panca Wara : Sapta Wara : Sukra Sakti : Dewi Mahadewi Wahana : Wilmana c. Dewa Iswara Arah : Timur/Purwa Pura : Lempuyang Aksara : Sang Senjata : Bajra Warna : Putih Urip : 5 Panca Wara : Umanis Sapta Wara : Redite Sakti : Dewi Uma Wahana : Gajah Putih d. Dewa

LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN

  LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar belakang Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi , yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya. Ada dua alasan mengapa para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan. Pertama, karena pendidikan bersifat normatif maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi atau sesuatu titik tolak yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif tersebut an