KEPEMIMPINAN HINDU
Pemimpin dan Kepemimpinan
Istilah pemimpin berasal dari kata dasar
“pimpin” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai “bimbing atau tuntun”. Kata kerja dari kata dasar ini, yaitu
“memimpin” yang berarti “membimbing atau menuntun”. Dari kata dasar ini
pula lahirlah istilah “pemimpin” yang berarti “orang yang memimpin” (Tim
Penyusun,2005:874). Kata pemimpin mempunyai padanan kata dalam Bahasa
Inggris “leader”.
Sementara itu kata “pemimpin” mempunyai
kaitan yang sangat erat dengan kata “kepemimpinan”. Kepemimpinan adalah
kemampuan yang dimiliki dari seorang pemimpin. Dengan kata lain,
kepemimpinan juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memimbing dan
menuntun seseorang. Jika tadi kata pemimpin mempunyai padanan kata dalam
Bahasa Inggris (leader), maka kepemimpinan juga mempunyai padanan kata dalam Bahasa Inggris yaitu leadership. Kata ini berasal dari kata dasar “lead” yang dalam Oxford Leaner’s Pocket Dictionary (Manser, et all.,1995 : 236) diartikan sebagai “show the way, especially by going in front”. Sementara itu kata “leadership” diartikannya sebagai “qualities of a leader”.
Secara umum, kepemimpinan diartikan
sebagai kemampuan untuk mengkoordinir dan mengerahkan orang-orang serta
golongan-golongan untuk tujuan yang diinginkan (Tim Penyusun,2004:78).
Menurut William H.Newman (1968) kepemimpinan adalah kegiatan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia
baik perorangan maupun kelompok. Bahasan mengenai pemimpin dan
kepemimpinan pada umumnya menjelaskan bagaimana untuk menjadi pemimpin
yang baik, gaya dan sifat yang sesuai dengan kepemimpinan serta
syarat-syarat apa yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik.
Menyimak pengertian di atas maka terkait dengan kepemimpinan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kepemimpinan selalu melibatkan orang lain sebagai pengikut. Kedua, dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuatan yang tidak seimbang antara pemimpin dan yang dipimpin. Ketiga, kepemimpinan merupakan kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Keempat, kepemimpinan adalah suatu nilai (values), suatu proses kejiwaan yang sulit diukur.
Kepemimpinan dalam Hindu
Dalam agama Hindu, banyak ditemukan istilah yang menunjuk pada pengertian pemimpin. Ajaran atau konsep kepemimpinan (leadership) dalam Hindu dikenal dengan istilah Adhipatyam atau Nayakatvam. Kata “Adhipatyam” berasal dari “Adhipati” yang berarti “raja tertinggi” (Wojowasito, 1977 : 5). Sedangkan “Nayakatvam” dari kata “Nayaka” yang berarti “pemimpin, terutama, tertua, kepala” (Wojowasito, 1977 : 177).
Di samping kata Adhipati dan Nayaka yang berarti pemimpin terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk seorang pemimpin, yaitu: Raja, Maharaja, Prabhu, Ksatriya, Svamin, Isvara dan Natha. Di samping istilah-istilah tersebut di Indonesia kita kenal istilah Ratu atau Datu, Sang Wibhuh, Murdhaning Jagat
dan sebagainya yang mempunyai arti yang sama dengan kata pemimpin namun
secara terminlogis terdapat beberapa perbedaan (Titib, 1995 : 3).
Asal-usul seorang pemimpin sebenarnya
telah ditegaskan dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9) sebagaimana
telah disebutkan di muka, yang secara jelas menyatakan bahwa seorang
pemimpin berasal dari warga negara atau rakyat. Tentunya yang
dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah benar-benar memiliki kualifikasi
atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah sejalan dengan bakat dan
kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa Sanskerta disebut
dengan Varna. kata Varna dari urat kata “Vr” yang artinya pilihan bakat dari seseorang (Titib, 1995 : 10).
Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan mampu memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut Ksatriya, karena kata ksatriya
artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki
kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia adalah
seorang Brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat seperti pedagang, bussinessman, petani, nelayan dan sebagainya.
Dalam sejarah Hindu banyak contoh
pemimpin yang perlu dijadikan suri teladan. Di setiap jaman dalam
sejarah Hindu selalu muncul tokoh yang menjadi pemimpin. Sebut saja
Erlangga, Sanjaya, Ratu Sima, Sri Aji Jayabhaya, Jayakatwang,
Kertanegara, Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan masih banyak lagi lainnya. Di
era sekarang banyak tokoh Hindu yang juga dapat dijadikan sebagai
panutan/pimpinan seperti : Mahatma Gandhi, Svami Vivekananda, Ramakrsna,
Sri Satya Sai dan sebagainya.
Selain itu contoh kepemimpinan Hindu yang
ideal dapat ditemukan dalam cerita Itihasa dan Purana. Banyak tokoh
dalam cerita tersebut yang diidealkan menjadi pemimpin Hindu. Misalnya:
Dasaratha, Sri Rama, Wibhisana, Arjuna Sasrabahu, Pandudewanata,
Yudisthira dan lain-lain.
Umumnya dalam cerita Itihasa dan Purana antara pemimpin (Raja) tidak bisa dipisahkan dengan Pandita sebagai Purohito (penasehat Raja). Brahmana ksatriya sadulur artinya penguasa dan pendeta sejalan. “Raja tanpa Pandita lemah, Pandita tanpa Raja akan musnah”.
Misalnya : Bhatara Guru dalam memimpin Kahyangan Jonggring Salaka
dibantu oleh Maharsi Narada sebagai penasehat-Nya, Maharaja Dasaratha
ketika memimpin Ayodya dibantu oleh Maharsi Wasistha, Maharaja Pandu
dalam memimpin Astina dibantu oleh Krpacharya dan sebagainya.
Kepemimpinan Hindu dan Niti Sastra
Kitab atau susastra Hindu yang banyak
mengulas tentang konsep-konsep kepemimpinan termasuk etika dan moral di
dalamnya disebut dengan kitab “Niti Sastra”. Kata ini berasal dari Kata
Sanskerta “niti (NaqiTa)” yang berarti “bimbingan, dukungan,
bijaksana, kebijakan, etika” (Surada,2007:190). Zoetmulder (2006:707)
mengartikan kata “niti” sebagai “ cara bekerja dengan baik dan
benar; tingkah laku yang bijaksana; ilmu tata negara atau politik;
kebijaksanaan politik; kebijaksanaan duniawi; taktik atau rencana yang
baik; garis perbuatan; rencana”. Nitisastra sendiri menurut Zoetmulder
(2006:708) merupakan ilmu atau karya mengenai etika politik.
Dengan demikian ruang lingkup niti sastra
tentu sangat luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan
sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut maka “niti sastra” dapat
diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan,
bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar
menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik.
Selama ini fokus atau pokok bahasan yang
menjadi topik dari niti sastra adalah Kautilya Artha Sastra. Hal ini
disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, Kautilya adalah ahli politik dan kenegaraan tersohor; Kedua, kelengkapan dan kecermatan Kautilya dalam menyusun karyanya; Ketiga, bahasanya sangat mendetail; Keempat, perbandingan opini penyusun sebelumnya; Kelima, ketersediaan dokumen dan hanya dokumen Kautilya Artha Sastra ditemukan secara utuh.
Untuk memahami kepemimpinan Hindu atau kepemimpinan yang universal, seseorang dianjurkan untuk mempelajari niti sastra. Mengingat, pengetahuan dan pemahaman sejarah/konsep pemikiran Hindu (niti sastra)
di bidang Politik, ketatanegaraan, ekonomi, dan hukum yang masih
relevan sampai kini. Konsep-konsep tersebut adalah sumber penting yang
memberi kontribusi perkembangan konsep-konsep selanjutnya di India,
Asia bahkan, dunia. Adapun kontribusi niti sastra dalam peradaban global antara lain :
- Pemikiran dalam niti sastra dapat memberi masukan penting berupa konsep dan nilai positif dalam pengembangan, pembaharuan, penyusunan kembali konsep-konsep politik, ketatanegaraan, ekonomi, peraturan hukum era kini.
- Usaha menggali, mengangkat nilai-nilai Hindu sebagai sumbangan Hindu dalam percaturan dunia keilmuan. Paradigma sosial bahwa politik itu kotor dapat hilang.
Konsep-konsep Kepemimpinan Hindu
Dalam konsep kepemimpinan Barat yang
lebih banyak dijadikan dasar adalah sikap dan tingkah laku dari para
pemimpin-pemimpin besar di dunia. Oleh kerena itu mereka banyak
mengemukakan jenis-jenis kepemimpinan yang sesuai dengan tokoh
personalnya, seperti : kepemimpinan Karismatik, kepemimpinan
Paternalistik, kepemimpinan Maternalistik, kepemimpinan Militeristik,
kepemimpinan Otokrasi, kepemimpinan Lassez Faire, kepemimpinan
Populistik, kepemimpinan Eksekutif, kepemimpinan Demokratik,
kepemimpinan Personal, kepemimpinan Sosial dan masih banyak lagi
lainnya.
Lain halnya dengan konsep kepemimpinan
Hindu. Selain dasar tersebut, yang terutama sekali kepemimpinan Hindu
bersumber dari kitab suci Weda dan diajarkan oleh para orang-orang suci.
Kepemimpinan Hindu juga banyak mengacu pada tatanan alam semesta yang
merupakan ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun konsep-konsep Kepemimpinan Hindu yang banyak diajarkan dalam sastra dan susastra-nya antara lain : Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Pañca Upaya Sandi, Asta Brata, Nawa Natya, Pañca Dasa Paramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Pañca Satya dan lain-lain. Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.
Sad Warnaning Rajaniti
Sad Warnaning Rajaniti atau Sad Sasana
adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
raja. Konsep ini ditulis Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance of Hindu Politiy”. Adapun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti ini adalah :
- Abhigamika, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya.
- Prajña, artinya seorang raja atau pemimpin harus bijaksana.
- Utsaha, artinya seorang raja atau pemimpin harus memiliki daya kreatif yang tinggi.
- Atma Sampad, artinya seorang raja atau pemimpin harus bermoral yang luhur.
- Sakya samanta, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang baik.
- Aksudra Parisatka, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para menterinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Catur Kotamaning Nrpati
Catur Kotamaning Nrpati
merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada jaman Majapahit sebagaimana
ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit”. Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut adalah :
- Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci atau ajaran agama (agama agëming aji).
- Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya. Hal ini sebagaimana perumpamaan singa (raja hutan) dan hutan dalam Kakawin Niti Sastra I.10 berikut ini :
Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi
juga selalu dijaga oleh hutan. Jika singa dengan hutan berselisih,
mereka marah, lalu singa itu meninggalkan hutan. Hutannya dirusak
binasakan orang, pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi terang, singa
yang lari bersembunyi dalam curah, di tengah-tengah ladang, diserbu dan
dibinasanakan.
- Kawiryan, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwatak pemberani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan pengetahuan suci yang dimilikinya sebagainya disebutkan pada syarat sebelumnya.
- Wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Raja yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya.
Tri Upaya Sandhi
Di dalam Lontar Raja Pati Gundala
disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki tiga upaya agar dapat
menghubungkan diri dengan rakyatnya. Adapun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah :
- Rupa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan begitu ia akan tahu apakah rakyatnya sedang dalam kesusahan atau tidak.
- Wangsa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi sosial) agar dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
- Guna, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian dari rakyatnya sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.
Pañca Upaya Sandhi
Dalam Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa
disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab
raja. Adapun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi ini adalah :
- Maya, artinya seorang pemimpin perlu melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau permasalahan yang masih belum jelas duduk perkaranya (maya).
- Upeksa, artinya seorang pemimpin harus meneliti dan menganalisis semua data-data tersebut dan mengkodifikasikan secara profesional dan proporsional.
- Indra Jala, artinya seorang pemimpin harus bisa mencarikan jalan keluar dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan hasil analisisnya tadi.
- Wikrama, artinya seorang pemimpin harus melaksanakan semua upaya penyelesaian dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
- Logika, artinya seorang pemimpin harus mengedepankan pertimbangan-pertimbangan logis dalam menindak lanjuti penyelesaian permasalahan yang telah ditetapkan.
Asta Brata
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan
yang diberikan oleh Sri Rama kepada Gunawan Wibhisana sebelum ia
memegang tampuk kepemimpinan Alengka Pura pasca kemenangan Sri Rama
melawan keangkaramurkaan Rawana. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
Pustaka Suci Manu Smrti IX.303 berikut ini
Hendaknya raja berbuat seperti perilaku
yang sama dengan dewa-dewa, Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra,
Agni dan Prthiwi (Pudja dan Sudharta,2002:607).
Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai berikut:
Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan
Bayu, Sang Hyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan. Semua
beliau itu menjadi pribadi sang raja. Oleh karena itulah beliau harus
memuja Asta Brata (Tim Penyusun,2004:98).
Ada perbedaan sedikit antara konsep Asta
Brata dalam Pustaka Suci Manu Smrti dan Kakawin Ramayana. Pada Pustaka
Suci Manu Smrti disebutkan Prthiwi Brata sementara itu pada Kakawin
Ramayana disebutkan Kwera Brata. Semua raja harus memuja Asta Brata ini.
Karena Asta Brata ini merupakan delapan landasan sikap mental bagi
seorang pemimpin. Adapun delapan bagian Asta Brata tersebut adalah :
- Indra Brata, kepemimpinan bagaikan Dewa Indra atau Dewa Hujan; Di mana hujan itu berasal dari air laut yang menguap. Dengan demikian seorang pemimpin berasal dari rakyat harus kembali mengabdi untuk rakyat.
- Yama Brata, kepemimpinan yang bisa menegakkan keadilan tanpa pandang bulu bagaikan Sang Hyang Yamadipati yang mengadili Sang Suratma.
- Surya Brata, kepemimpinan yang mampu memberikan penerangan kepada warganya bagaikan Sang Surya yang menyinari dunia.
- Candra Brata, mengandung maksud pemimpin hendaknya mempunyai tingkah laku yang lemah lembut atau menyejukkan bagaikan Sang Candra yang bersinar di malam hari.
- Bayu Brata, mengandung maksud pemimpin harus mengetahui pikiran atau kehendak (bayu) rakyat dan memberikan angin segar untuk para kawula alit atau wong cilik sebagimana sifat Sang Bayu yang berhembus dari daerah yang bertekanan tinggi ke rendah.
- Baruna Brata, mengandung maksud pemimpin harus dapat menanggulangi kejahatan atau peyakit masyarakat yang timbul sebagaimana Sang Hyang Baruna membersihkan segala bentuk kotoran di laut.
- Agni Brata, mengandung maksud pemimpin harus bisa mengatasi musuh yang datang dan membakarnya sampai habis bagaikan Sang Hyang Agni.
- Kwera atau Prthiwi Brata, mengandung maksud seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya sebagaimana bumi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dan bisa menghemat dana sehemat-hematnya seperti Sang Hyang Kwera dalam menata kesejahteraan di kahyangan.
Nawa Natya
Dalam Lontar Jawa Kuno yang berjudul “Nawa Natya”
dijelaskan bahwa seorang raja dalam memilih pembantu-pembantunya
(menterinya). Ada sembilan kriteria yang harus diperhatikan oleh seorang
raja dalam memilih para pembantunya. Sembilan kriteria inilah yang
dikenal sebagai Nawa Natya. Adapun kesembilan kriteria itu adalah:
1. Prajña Nidagda (bijaksana dan teguh pendiriannya).
2. Wira Sarwa Yudha (pemberani dan pantang menyerah dalam setiap medan perang).
3. Paramartha (bersifat mulia dan luhur)
4. Dhirotsaha (tekun dan ulet dalam setiap pekerjaan)
5. Wragi Wakya (pandai berbicara atau berdiplomasi)
6. Samaupaya (selalu setia pada janji)
7. Lagawangartha (tidak pamrih pada harta benda)
8. Wruh Ring Sarwa Bastra (bisa mengatasi segala kerusuhan)
9. Wiweka (dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk)
2. Wira Sarwa Yudha (pemberani dan pantang menyerah dalam setiap medan perang).
3. Paramartha (bersifat mulia dan luhur)
4. Dhirotsaha (tekun dan ulet dalam setiap pekerjaan)
5. Wragi Wakya (pandai berbicara atau berdiplomasi)
6. Samaupaya (selalu setia pada janji)
7. Lagawangartha (tidak pamrih pada harta benda)
8. Wruh Ring Sarwa Bastra (bisa mengatasi segala kerusuhan)
9. Wiweka (dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk)
Pañca Dasa Pramiteng Prabhu
Dalam Lontar Negara Kertagama, Rakawi
Prapañca menuliskan keutamaan sifat-sifat Gajah Mada sebagai Maha Patih
Kerajaan Majapahit. Sifat-sifat utama itu pula yang mengahantarkan
Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Sifat-sifat utama tersebut ada 15
yang disebut sebagai Pañca Dasa Pramiteng Prabhu. Adapun kelima belas
bagian dari Pañca Dasa Pramiteng Prabhu tersebut adalah :
1. Wijayana (bijaksana dalam setiap masalah)
2. Mantri Wira (pemberani dalam membela negara)
3. Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin)
4. Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya)
5. Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan)
6. Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi)
7. Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati)
8. Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha)
9. Teulelana (teguh iman dan optimistis)
10. Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi)
11. Dibyacita (lapang dada dan toleransi)
12. Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara)
13. Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam)
14. Sumantri (menjadi abdi negara yang baik)
15. Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari pebuatan buruk)
2. Mantri Wira (pemberani dalam membela negara)
3. Wicaksananengnaya (sangat bijaksana dalam memimpin)
4. Natanggwan (dipercaya oleh rakyat dan negaranya)
5. Satya Bhakti Prabhu (selalu setia dan taat pada atasan)
6. Wagmiwak (Pandai bicara dan berdiplomasi)
7. Sarjawa Upasama (sabar dan rendah hati)
8. Dhirotsaha (teguh hati dalam setiap usaha)
9. Teulelana (teguh iman dan optimistis)
10. Tan Satrsna (tidak terlihat pada kepentingan golongan atau pribadi)
11. Dibyacita (lapang dada dan toleransi)
12. Nayakken Musuh (mampu membersihkan musuh-musuh negara)
13. Masihi Samasta Bawana (menyayangi isi alam)
14. Sumantri (menjadi abdi negara yang baik)
15. Gineng Pratigina (senantiasa berbuat baik dan menghindari pebuatan buruk)
Sad Upaya Guna
Dalam Lontar Rajapati Gondala dijelaskan
ada enam upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam memimpin
negara. Keenam upaya ini disebut juga sebagai Sad Upaya Guna. Adapun
keenam upaya tersebut adalah : Siddhi (kemampuan bersahabat); Wigrha (memecahkan setiap persoalan); Wibawa (menjaga kewibawaan); Winarya (cakap dalam memimpin); Gascarya (mampu menghadapi lawan yang kuat) dan Stanha (menjaga hubungan baik).
Dalam lontar yang sama disebutkan pula
ada 10 macam orang yang bisa dijadikan sahabat oleh Raja. Kesepuluh
macam tersebut adalah orang yang :
- Satya (jujur)
- Arya (orang besar/mulia)
- Dharma (baik)
- Asurya (dapat mengalahkan musuh)
- Mantri (bisa mengabdi dengan baik)
- Salya Tawan (banyak kawannya)
- Bali (kuat dan sakti)
- Kaparamarthan (mempunyai visi yang jelas)
- Kadiran (tetap pendiriannya)
- Guna (banyak ilmunya)
Pañca Satya
Selain upaya, sifat dan kriteria
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, masih ada satu lagi landasan
bagi pemimpin Hindu dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Landasan
ini ada lima yang dikenal sebagai Pañca Satya. Lima Satya ini harus
dijadikan sebagai landasan bagi seorang pemimpin Hindu di manapun dia
berada. Kelima landasan itu adalah :
- Satya Hrdaya (jujur terhadap diri sendiri / setia dalam hati)
- Satya Wacana (jujur dalam perkataan / setia dalam ucapan)
- Satya Samaya (setia pada janji)
- Satya Mitra (setia pada sahabat)
- Satya Laksana (jujur dalam perbuatan)
Kelima ini juga harus dijadikan pedoman
dalam hidupnya. Sehingga ia akan menjadi seorang pemimpin yang hebat,
berwibawa, disegani dan sebagainya.
Tingkat keberhasilan dari seorang pemimpin dalam memimpin itu sendiri ditentukan oleh dua faktor, yaitu : faktor usaha manusia (Manusa atau jangkunging manungsa) dan faktor kehendak Tuhan (Daiwa atau jangkaning Dewa). Sementara tingkat keberhasilannya bisa berupa penurunan (Ksaya), tetap atau stabil (Sthana) dan peningkatan atau kemajuan (Vrddhi) (Kautilya,2004:392-393)
Komentar
Posting Komentar