A. Filsafat Agama
Istilah filsafat dan agama
mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya
bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu,
banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan
pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang
diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur
kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu
memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut
menimbulkan konflik berkepan-jangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis
dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai
fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama
secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
agama dan filsafat itu.
B.
Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan
dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang
sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang
ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan,
ciri-ciri ter-tentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah
diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah
perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi,
tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara
mendalam.
Orang yang berfikir
tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu
yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya
Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat
itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat
ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.
Namun demikian definisi
filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat
definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami pemikiran orang
lain.
Dengan demikian,
timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan
siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang
yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah
Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang
menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu
pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras
mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.
Semenjak semula
telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya
mengatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut
Harun Nasution kedua
kata tersebut setelah digabungkan menjadi philosophia dan
diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau
kebijaksanaan.
Orang Arab
memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan
menyesuaikannya dengan su-sunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan
pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu
adalah falsafah atau filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat
tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang
mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya
maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia
dengan mencintai kebijaksanaan, sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan
hikmah.
Kebijaksanaan
biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan suatu
pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah
ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau
suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.
Dari pengertian
kebahasaan itu dapat dipahami bah-wa filsafat berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cu-kup,
karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang
filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam
melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga
berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang mem-berikan pengertian yang berbeda
pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan
filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh
keahalian tentang kebijaksanaan itu.
Plato mengatakan
filsafat adalah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan penge-tahuan yang
luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah ilmu tentang
kebenaran.
Cicero (106-3 sm.)
mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk
mendapatkannya.
Thomas Hobes
(1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu
pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan
hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.
R. Berling
mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh rasio
mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer
mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan
yang sudah semen-jak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-perta-nyaan
mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa
yang ada dan bagaimana hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya
mempermasalah-kan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan
menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya
memeriksa apakah hal itu berlaku.
Immanuel Kant
(1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah
pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di
dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya :
Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana
harapan kita ? Jawabnya :Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.
Jujun S
Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang
mungkin dapat dipikirkan manu-sia.
Sesuai dengan
fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab
suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.
Ir. Poedjawijatna
mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.
Titus mem-berikan
difinisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau
melihat persoalan tanpa prasangka.
Selanjutnya dia
mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat sekurang-kurangnya bertolak
dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat
adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat
dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan
usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang
meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan
mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya
dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi
lain.
Kedua adalah suatu
metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukalah
metode fil-safat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat
dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat
adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang
sangat men-dasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof
telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ?
apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat
merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat
berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem
pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan
nama-nama filosof ; seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka
sangat ber-pengaruh bagi pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir
istilah-istilah seperti idealisme, realisme, pragmatis-me dan sebagainya.
Kattsoff
mengemukakan filsafat, ialah ilmu penge-tahuan yang dengan cahaya
kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang
tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan
tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban
alam.
Selain itu filsafat
merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan
kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari,
serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta
peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil
menanganinya.
Selain itu Liang Gie
mengemukan metode yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis itu
meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku
filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek
filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat
maupun filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat
filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia,
ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada
filsafat.
Ketiga penghafal
filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari
menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan
oleh dosennya.
Keempat sarjana
filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan
memperoleh gelar dok-torandus atau lainnya.
Kelima pengajar
filsafat, yaitu sarjana yang mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat
atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir
filsafat, yaitu seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang
sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami
persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap
jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan
diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Itulah di antara
definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu
menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor,
seperti latar belakang sosial, politik, ekonomi dan seba-gainya. Jika
disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu
pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah
dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti
filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian
diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi
berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang
filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu
pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian
dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji
berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat
agama.
C. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal
dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang
berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan
manusia.
Ternyata agama
memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu,
selalu menjadi pola hidup manusia.
Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu
yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu
direalisasikan dalam ibadat-ibadat.
Kata religi
berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan,
membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan
semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain
kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia.
Seorang yang
beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan
oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere
asal kata relgi mengandung makna berhati-hati hati-hati. Sikap
berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang
ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus
hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu.
Yang kudus
dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani
manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya,
makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai
yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah
religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan
atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut
religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan
antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja
dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan
Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada
penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui
adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati
sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang
Mutlak itu manusia secara bersama-sama menjalankan ajaran tertentu.
Jadi religi
adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus
itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga,
dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam
al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan pengertian
agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan
dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din
ada me-nunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain
diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna
tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau
kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan
disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang
mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan
untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti
hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan.
Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena pada
waktu itu dijanjikan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang
beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan
Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat
pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua
sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang
berpiutang.
Dalam diri orang
yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan
arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam
Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran
agama.
Dalam bahasa Semit
istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti
menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. dan
semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama
itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh
setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di
atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun banyak
pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan
demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang
berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan
istilah yang sangat umum ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah
peraturan tentang cara hidup di dunia ini.
Sidi Gazalba
memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus,
menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan
permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
Ungkapkan dalam
agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam,
yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan,
sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir
Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah
sistem hidup yang diterima dan diredai Allah ialah sistem yang hanya
diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh
kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berba-gai aspek kehidupan, termasuk
akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk
manusia.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa agama itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu
agama yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan
kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya
akan menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan
dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir
dan batin.
Bila dilihat dengan
seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan.
Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam
kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi
berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi
untuk agama, yaitu:
1. Pengakuan
terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap
adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri
kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber
yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi
perbu-atan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan
kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem
tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6.
Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari
suatu kekuatan gaib.
7.
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan
takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8.
Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang
Rasul.
Definisi
yang dikemukakan Harun Nasution dapat disederhanakan menjadi dua definisi
saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama berkaitan dengan
keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih ting-gi dari manusia yang
mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan gaib itu
dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa
melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang dipercayai itu adalah
benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun definisi nomor 8
terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi. Jika
disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang
ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap
pemarah dari yang gaib itu.
Dari delapan
difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting
dalam setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa
dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta
tolong. Oleh sebab itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan
kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi
perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa
kesejahteraannya di dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya
hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu,
kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ketiga respon yang bersifat emosionil
dari manusia. Res-pon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam
agama-agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam
agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang
terdapat di dalam agama primitif, atau pemujkaan yang terdapat dalam agama
menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu
bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred)
dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung
ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.
Setelah diketahui
pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa
sebenarnya pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa
filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang
bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara
analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk
menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama
secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran suatu
ajaran agama atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang
diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak bertentangan dengan logika.
Dasar-dasar agama yang
dibahas antara lain pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian
hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati
dan lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir
secara kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama secara
mendalam sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu..
C. Agama Sebagai Objek Filsafat
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok
persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara
manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan
Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi
Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma,
Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan
sebagainya. Semua itu merupa-kan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran
agama itulah yang menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat
seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata
objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan sasaran atau sesuatu
yang menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran
dalam suatu aktivitas berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas ter-sebut.
Jika seorang peneliti melakukan penelitian tentang pola hidup
masyarakat nelayan di A maka semua pola hidup dan tingkah laku
masyarakat nelayan tersebut adalah menjadi objek penelitian. Dengan
kata lain setiap nelayan yang ada di lokasi penelitian yang dilakukan itu
jelas menjadi objek dari penelitian tersebut.
Isi
filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikir-kan. Karena filsafat
mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang
meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan fil-safat
itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada
dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran
dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.
Aristoteles
mengemukakan bahwa objek filsafat ada-lah fisika, metafisika, etika, politik,
biologi, bahasa.
Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah
semua yang maujud.
Selain yang dikemukakan oleh para filosof di
atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.
Semua
sasaran pembahasan di atas merupakan mate-ri pembahasan filsafat. Agama
adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan
demi-kian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengeta-huan juga
mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia
filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang
berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal
yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan
manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi,
maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua
aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun
demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik
daripada aspek pisik. Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan
ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu
dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat.
Dengan
demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat
diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi
sain.
Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh
sifat penyelidik-an. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah
penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang
terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam
dari agama itu sendiri.
Selain
objek materia itu terdapat pula objek forma filsafat yaitu cara pandang yang
menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui
hakikatnya. Dengan demikian, agama sebagai objek forma filsafat adalah
cara pandang yang radikal tentang agama dan ber-bagai persoalan yang terdapat
dalam agama itu. Dengan kata lain objek forma filsafat adalah pembahasan yang
mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama
di dunia ini. Seperti diung-kapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting dalam
setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya melihat
argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen
yang memban-tah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah
yang akan dibahas dalam filsafat agama.
Karena
begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang
akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang berubah
keya-kinan. Ada
orang yang membahas persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah
keyakinannya terhadap Tuhan. Ada
orang yang membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia
tidak mendapatkan kepuas-an dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling
dari keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan,
tetapi setelah membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada
Tuhan. Nietzsche, seorang keturunan yang taat beragama adalah salah satu
contoh dari persoalan ini.
Sebaliknya, seorang yang ateis, yang
kemungkinan dalam hidupnya mengalami kekosong-an dan kegersangan jiwa setelah
berfikir tentang penga-laman orang yang beragama bisa pula menjadi penganut
agama yang kuat.
Tidaklah
terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah
keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti
bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah
sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk
menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk
mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip logika.
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut
tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai kepada
persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis pada umumnya
berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada
waktu itu, seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya
persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan filsafat agama karena
eskatologislah yang mendo-rong orang bersemangat orang untuk
menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal
perbuatannya keberadaan agama menjadi kurang menarik. Hidup sesudah mati
inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada kepada agama.
Filsafat
agama sebenarnya bukanlah langkah untuk menyelesaikan persoalan agama secara
tuntas. Pemba-hasan filsafat agama hanya bertujuan untuk mengungkap-kan argumen-argumen
yang mereka kemukakan dan memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari
segi logisnya.
Pernyataan
ini menunjukkan bahwa objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan
seperti penyelidikan sain yang keingingtahuannya hanya pada batas yang dapat
diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu
pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat
adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan
riset, sedang-kan filsafat meneliti dangan memikirkannya
Selain
itu filsafat merupakan analisa logis dari segi bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep. Di sini yang dilihat adalah maksud dari suatu
istilah, seperti agama itu maksudnya apa. Sudah logiskah sesuatu yang
dinyatakan dalam agama itu. Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan oleh
para ahli filsafat, yang dimaksud dengan filsafat di sini adalah berfikir
menurut tata-tertib logika dengan bebas (tidak terikat pada suatu tradisi,
dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya se-hingga sampai kepada
dasar-dasar persoalan. Yang utama dalam tulisan ini adalah analisis kritis
dan logis terhadap setiap persoalan agama. Sehubungan dengan itu, apa
sebenarnya yang menjadi objek pembahasan filsafat, apakah segala sesuatu
tanpa kecuali dapat menjadi objek pembicaraan filsafat.
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa objek pembicaraan filsafat itu banyak
sekali, yaitu segala yang ada. Agama ternyata merupakan salah satu
objek pembicaraan filsafat.
D. Perbadingan
Agama dan Filsafat
Dari
uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat
perbedaan. Menurut Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan
agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menye-lidiki bidang
itu sendiri.
Filsafat
adalah berfikir, sedang-kan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak
hu-bungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi,
mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan
agama menuntut pengeta-huan untuk beribadah atau mengabdi.
Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan,
tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Lewis
mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation.
Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai
perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran
tentang rasa cinta itu disebut contemplation.
Di sisi
lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan filsafat mulai dari
mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama mulai dari
keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk
memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan
filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat
dan kemudian timbul-lah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu).
Dalam pendapat Mahmud Subhi , agama di
sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan,
bukan ber-awal dari argumen.
Perbedaan
lain antara agama dan filsafat adalah bah-wa agama banyak hubungannya dengan
hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan
tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan
gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih,
tenang dan kelihatan dasarnya.
Seorang
penganut agama biasa-nya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia
sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu. Sebalik-nya seorang ahli filsafat
sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata
pendapatnya keliru.
Dalam
diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti argumen-argumen yang
mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen tersebut walaupun untuk argumen
dia sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama tidak terdapat
keinginan seperti itu.
Di sisi
lain Harun Nasution membandingkan pemba-hasan filsafat agama dengan
pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan
tersen-diri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan
kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar
agama tertentu.
Dengan demikian terdapatlah teologi Islam,
teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran
seperti itu kurang tepat karena pandangan masing-masing penganut agama dan
filosof bersifat sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah
adalah pendirian seorang penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan
uraian tentang paham atau agama lain dan meminta bukti dari paham atau
agamanya itu.
Seseorang
memerlukan kepiawaian dalam menge-mukakan argumen, memahami teknik analisa
serta menge-tahui sejumlah bahan pengetahuan untuk memikirkan se-gala sesuatu
secara logis, termasuk setiap problem kehi-dupan yang ada hubungannya dengan
hal itu.
Melihat
sesuatu itu memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi. Tetapi harus
disadari bahwa agama pada satu sisi memang ditandai dengan unsur-unsur yang
bersifat memi-hak kepada keyakinannya sendiri. Tanpa ada sifat memi-hak,
agama kadang-kadang kurang terasa maknanya.
|
Komentar
Posting Komentar