Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDU



1.        Latar Belakang

Pendidikan abad ke-21 diwarnai dengan pengaruh-pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul Kritik dari beberapa orang, seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industry semata.
Peradaban dalam masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang diberikan dalam masyarakat tersebut. Masyarakat yang memperoleh pendidikan yang tepat akan menghasilkan masyarakat yang beradab dan dengan masyarakat yang bermoral dan berperikemanusiaan. Tetapi sistem pendidikan yang salah akan menghasilkan masyarakat yang meskipun menguasai IPTEK tetapi tidak memiliki moral. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan adalah cara untuk  membentuk peradaban  manusia. Dengan pendidikan yang bagus dan benar maka arah peradaban dapat ditujukan kepada arah yang benar dan bermanfaat. Bermanfaat disini tentu berarti lebih komprehensif daripada manfaat-manfaat duniawi yang  sering kita unggulkan sementara ini.
Beban semua struktur yang terlibat dalam sistem pendidikan agama dengan demikian menjadi sangat berat karena memikul tanggung jawab yang besar dalam membentuk kemanusiaan thus  membentuk peradaban. Karena itu, selain sumber kemampuan subtansional  komponen-komponen tersebut, sistem yang menjadi wadah mereka juga haruslah memadai, relevan dengan tujuan yang ingin  dibentuk, dan mampu mengakomodasi tujuan yang hendak dicapai. Umat Hindu masa kini tentu saja mau tidak mau juga menjadi bagian dalam perkembangan dunia mutakhir. Umat Hindu terlibat langsung dalam semua aspek dalam kehidupan ini  sebagai pribadi yang beragama Hindu maupu sebagai makhluk yang memiliki keyakinan kehinduan sebagai jalan hidupnya.
Kegagalan paradigma modern dalam membangun manusia dan peradaban manusia melalui pendidikan memerlukan tinjauan pendidikan menurut agama sebagai perbandingan yang berguna sebagai acuan  agar dapat paradigm modern dapat diteliti letak kelemahan konsep-konsepnya. Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji fenomena yang terjadi dalam Pendidikan Indonesia ditinjau dari perspektif Pendidikan Hindu.


PEMBAHASAN

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDU


1.        Sistem Pendidikan Menurut Agama Hindu

Dalam pendidikan formal, pendidikan agama Hindu pada tingkat Pendidikkan Tinggi telah banyak bermunculan untuk menciptakan manusia-manusia Hindu yang cendekia yang akhirnya suatu saat siap dan mampu mentransfer segala kemampuannya bagi kepentingan masyrakat Hindu secara luas mencakup Hindu di daerahnya, di Indonesia, dan bahkan dunia.Dalam bentuk non-formal maupun informal, institusi-institusi pendidikan Hindu lain yang bersifat sementara maupun permanen seperti ashram, pesantian, dan guru kula. Dahulu, hal itu tidak dikenal secara luas atau konsepnya dikenal namun tidak pernah ada yang mempraktekkannya.
Sistem pendidikan ini telah banyak menciptakan perkembangan bagi masyrakat Hindu. Banyak cendekiawan yang muncul dari institusi ini. Kehidupan beragama Hindu juga bergerak lebih dinamis. Masyarakat Hindu awam menjadi semakin kritis terhadap agama yang dianutnya dan menuntut pendalaman-pendalaman terus menerus terhadap kepercayaannya tersebut. Jadi, ada kebutuhan dalam masyarakat akan pencerahan keagamaan yang tingkat urgensinya sangat tinggi.  Sistem pendidikan Hindu harus mampu memenuhi tuntutan itu.
Pendidikan Hindu haruslah merupakan pendidikan yang membentuk manusia yang beragama Hindu menjadi orang yang mengamalkan ajaran agamanya dalam peri kehidupan sehari-harinya. Pendidikan Agama Hindu tidak seharusnya diartikan sebagai pendidikan yang menciptakan orang yang pandai mengenai agama Hindu saja. Yang dengan demikian lebih mengarah kepada menciptakan orang yang memiliki Sraddha. Bukan menciptakan Indolog-indolog.  Sraddha adalah keyakinan yang benar tentang kebenaran (Maswinara, 1994: hal 29).
Tujuan pendidikan dalam agama Hindu adalah untuk membentuk peserta didik agar memunculkan potensi-potensi baik atau yang dikenal dalam agama Hindu sebagai sifat-sifat kedewataan  dalam dirinya. Prof. DR. I Made Titib merumuskan hal itu sebagai berikut:
“Bila kita kaji tentang makna pendidikan mengandung arti mengantarkan seorang anak menuju tingkat dewasa atau kedewasaan, seperti diungkapkan oleh Langerveld, kata dewa atau dewata, dimaksudkan seseorang itu dalam perilakunya sudah memiliki sifat-sifat kedewataan.

2.        Konsep-Konsep Pendidikan Dalam Kitab Suci Hindu

Ada kebutuhan dalam masyarakat akan pencerahan keagamaan yang tingkat urgensinya sangat tinggi, dan sistem pendidikan Hindu harus mampu memenuhi tuntutan itu. Sistem pendidikan Hindu harus mampu menciptakan manusia Hindu yang siap berhadapan dengan segala macam tantangan di jaman  kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ini.
Agama Hindu mengenal sebuah konsep  yang disebut dengan Catur Asrama Dharma. Konsep ini adalah tentang empat  tahapan hidup manusia di dunia dimana tahap yang pertama adalah Brahmacarya. Periode ini dimulai saat anak memasuki usia sekitar lima tahun. Sebelum memasuki masa Brahmacarya (di bawah lima tahun) anak merupakan tanggung jawab orang tua. Ia dididik dengan kasih sayang yang melimpah. Brahmacarya asrama, ialah masa menuntut ilmu atau masa menuntut dharma sebagai tujuan hidup, realisasinya kini adalah pendidikan di dalam keluarga dan di sekolah-sekolah formal maupun informal ( Titib, 2003 :15)
Tiga tujuan dari asrama ini adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan, membangun karakter, dan belajar untuk memanggul tanggung jawab yang akan ia dapatkan pada saat kehidupannya menjadi orang dewasa(Pandit, 2005 : 295). Unsur-unsur yang menjadi tujuan Brahmacarya ini sangat mirip dengan konsep aspek-aspek modern yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.Tahap ini dimulai ketika seorang anak memasuki sekolah pada umur yang sangat muda dan melanjutkannya sampai menyelesaikan semua sekolah dan dipersiapkan memikul tanggung jawab masa depan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, seseorang dalam konsep Hindu memasuki tahap selanjutnya yaitu Grhasta Asrama (tahapan berumah tangga), Wanaprastha Asrama (tahapan tinggal di hutan),  dan Bhiksuka Asrama (tahapan penyangkalan). Perhatikan pula bagaimana konsep ini disebut Catur Asrama Dharma. Kata Dharma menyiratkan sebuah arti yang penting dalam menelaah konsep ini. Dharma secara umum didefinisikan sebagai “kebajikan” atau “kewajiban” (Sivananda, 2003: 39). Dengan memahami bahwa dalam agama Hindu merupakan satu kewajiban, maka kita dapat menarik beberapa poin penting, antara lain :
a)        Pendidikan bukanlah hak, sehingga seharusnya ia tidak diperjuangkan, tapi diharuskan,
b)        Pendidikan merupakan kewajiban bagi peserta didik, pendidik, pengguna produk pendidikan, dan pemerintah,
c)        Karena merupakan kewajiban, maka pendidikan harus dipenuhi. Masa Brahmacarya harus dituntaskan sampai masa tertentu sebelum memasuki tahap selanjutnya.
Agama Hindu juga mengenal konsep Catur Purushārtha yang merupakan empat tujuan hidup manusia Hindu yang terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Secara spesifik juga dapat dilihat bahwa empat elemen ini merupakan tujuan dari diselenggarakannya pendidikan dalam perspektif Hindu.
Umumnya kata Dharma diterjemahkan sebagai kebenaran, namun sebenarnya kata Dharma memiliki pengertian yang lebih kompleks dan beragam serta tergantung konteks penggunaannya. Akan tetapi bila kita pahami esensi dari Dharma tersebut, maka berbagai pengertian itu mengarah pada satu pengertian tunggal. Kata dharma berasal dari kata dhr, yang artinya menyangga dan arti asal usul katanya adalah “yang menyangga” dunia ini, atau penghuni dunia atau segenap ciptaan dari bhuwana kecil sampai bhuwana agung serta merupakan Hukum Tuhan yang abadi dari Tuhan (Sivananda, 2003 : 38).
Secara garis besar, dharma dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Sadharana dharma, atau kewajiban yang ditujukan pada setiap orang tanpa mengacu pada kedudukan mereka dalam kehidupan atau keadaan-keadaan khusus, dan (2) Visesha dharma atau kewajiban relatif, yang adalah, kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh keadaan atau tahap seseorang dalam kehidupan (Pappu, 2004: 156).
Dalam Hindu, pendidikan adalah sebuah upaya penting untuk mencapai Catur Purusa Arta. Pengetahuan (Vidya) sangat diperlukan untuk melaksanakan dan menegakkan Dharma. Vidya  atau pengetahuan adalah upaya seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang benar, mengendalikan nafsunya, dan belajar melaksanakan kewajibannya dengan tanpa-keterikatan dan bakti pada Tuhan sehingga ia dapat mengatasi ketidakmurnian dari rasa ke-aku-an, keterikatan, dan khayalan dan berhasil mencapai pembebasan.
Subhas C. Kak (1997) menyatakan :  (Rig Veda dan sastra Vedic lainnya tidak menunjukkan pemecahan logis dari paradox tentang kesadaran namun menerima bahwa pengetahuan itu ada dua jenis : secara superficial mendua namun pada tingkat yang lebih dalam memiliki kesatuan. Teori-teori Veda menyatakan bahwa aspek-aspek material dan sadar adalah aspek yang saling melengkapi yang berasal dari kenyataan transenden yang sama. Tradisi ilmiah modern sama seperti tradisi Veda karena sama-sama mengakui adanya dua penggambaran yang berlawanan namun menuju pada penjelasan yang sama. Pendekatan Veda terhadap ilmu pengetahuan didasarkan pada asumsi bahwa ada ekuivalensi dari dunia luar dan dalam.
Dengan demikian sebenarnya kita dapat melihat relevansi antara konsep Hindu dengan penemuan-penemuan modern di bidang ilmu pengetahuan. Pengetahuan, di sisi lain, adalah pisau bermata dua yang bila jatuh ke tangan orang yang jahat akan dapat menjadi alat kejahatan yang paling mengerikan. Kita banyak melihat bukti dari hal ini dengan semakin maraknya kejahatan yang merupakan penyalahgunaan kecerdasan atau pengetahuan mulai dari korupsi yang tersistematis sampai kepada senjata pemusnah masal. Oleh karena itu, masalah pendidikan tidak akan pernah terlepas dari masalah guru dalam berbagai aspek.
Jayaram V menunjukkan pentingnya peranan guru dalam system pendidikan Hindu, ia menyatakan bahwa dalam pendidikan Hindu, Guru adalah Tuhan dalam bentuk manusia :Sentral bagi system pendidikan tradisional Hindu adalah konsep tentang guru atau pengajar sebagai penyingkir kegelapan. Seorang guru adalah Tuhan/Dewa dalam bentuk manusia. Ia sebenarnya adalah Brahman sendiri. Tanpa bakti padanya dan tanpa restunya, seorang murid tidak dapat banyak menyelesaikan hal-hal dalam hidupnya. Dalam membagi pengetahuan, sang guru menunjukkan jalan, bukan dengan trial and error, tapi dengan contoh dirinya sendiri dan melalui pemahamannya terhadap sastra suci, yang didapat dari pengalamannya sendiri, latihan, dan pengideraan yang dalam”.
Guru-guru jaman dahulu adalah orang-orang yang mumpuni. Mereka sudah berada di atas kepintaran. Mereka adalah orang-orang yang sudah menggenggam kebijaksanaan. Pengetahuan yang mereka peroleh adalah pengetahuan yang sangat orisinil yang didapat melalui perenungan yang lama dan mendalam, namun tetap saja dengan bersahaja mereka justru tidak mengakui sebagai penemu pengetahuan itu. Keadaannya sangat berbalik pada jaman sekarang, guru yang hanya menyampaikan pengetahuan dari buku pegangan mereka yang merupakan karya orang lain yang dengan rajin mengutip dari berbagai sumber menuntut hak untuk dibayar dengan sangat tinggi.

PENUTUP

1.        Kesimpulan

Banyak yang memandang bahwa dunia pendidikan di Indonesia sedang mengalami keadaan yang benar-benar sudah melenceng jauh dari konsep ideal yang dicanangkan. Sebagai permasalahan utama adalah tidak adanya kesesuaian antara an sich pendidikan dan fur sich-nya.
Akan sangat kompleks bila kita harus menganalisa factor-faktor yang menyebabkan karena adanya berbagai interdependensi antar komponen dunia karena kemajuan teknologi saat ini. Mau tidak mau, kita harus mengakui yang dibutuhkan adalah kesadaran dan membangun kesadaran seolah-olah adalah seni dan bukan ilmu yang bisa dipelajari. Kesadaran juga memiliki bentuk yang lebih mirip anugerah daripada sebuah kemampuan yang bisa dibangun dan ditanamkan dalam diri seseorang.
Penelitian-penelitian hanya akan mengarah pada benturan antara hasil-hasil pemikiran ilmiah dan filosofis dengan system global, pragmatism, dan politik yang tak jarang memang mengorbankan pendidikan.  Pendidikan hanyalah sebuah kata-kata yang manjur untuk digunakan sebagai penghibur bagi rakyat yang akan dikuasai oleh otoritas yang dapat digunakan sebagai sebuah komoditi untuk mendukung politik yang sedang dilakukannya tanpa pernah sungguh-sungguh memiliki komitmen untuk benar-benar mengembangkan pendidikan di Indonesia.
Paradigma filosofis sebagian besar memiliki kelemahan dalam aspek ontologism sehingga keluaran pendidikan tidak dapat mengaplikasikan kompetensinya di dunia nyata dengan sempurna. Hal ini selalu menimbulkan masalah baru dengan timbulnya pengangguran-pengangguran intelektual yang secara teori dapat menjadi membahayakan. Pendekatan budaya akan merupakan sebuah paradigm yang dapat menjadi jalan tengah bagi fenomena ini. Pendekatan budaya memungkinkan kita untuk menganalisa pengaruh fenomena yang berkembang di dunia terhadap perkembangan dunia pendidikan.
Kesimpulan yang didapat dari tulisan ini pada akhirnya akan berupa kesimpulan teoritis, namun nilai-nilai yang dapat diaplikasikan secara praktis akan muncul juga pada akhirnya. Perspektif pendidikan Hindu, sangat nyata bertujuan untuk membentuk manusia yang berbudaya (bila dari satu sisi beragama dapat dipersamakan dengan berbudaya/beradab). Dengan demikian, pendidikan akan menghasilkan orang-orang yang “menciptakan budaya” bukan orang-orang yang tunduk pada budaya global yang memiliki sisi potensi untuk menjauhkan manusia dari kemanusiaannya.
Kesimpulan ini tentunya juga adalah sebuah kesimpulan yang bersifat sangat filososif dan memerlukan pengkajian lebih lanjut karena interkoneksi pendidikan dengan aspek-aspek lainnya. Adalah sebuah penyederhanaan yang keterlaluan dan tidak ilmiah bila kita menyatakan bahwa nasib bangsa ini dapat dirubah hanya dengan melakukan perubahan di bidang pendidikan, namun juga merupakan pernyataan yang beralasan jika kita memandang pendidikan sebagai titik tolak untuk bergerak memajukan bangsa dari aspek pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA


Kadjeng, DKK, I Nyoman, 2005, Sārasamuccaya, Paramita, Surabaya.
Nasution M.A, Prof. Drs, 2008, Teknologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta.
Mantik, Agus S (penerjemah), 1992, Upanisad Utama Jilid II, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta.
Pandit, Bansi, 2005, Pemikiran Hindu : Pokok-Pokok Pikiran Agama dan Filsafatnya, Paramita, Surabaya.
Pidarta, Prof. Dr. Made, 2004,  Pendidikan Agama Hindu (Suatu Fondasi Utama), Denpasar, Unesa University Press.
Sivananda, Sri Svami, 2003, Intisari Ajaran Hindu, Paramita, Surabaya.
Tanu, Dr.Drs. I Ketut, 2008, Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Agama Hindu di Sekolah Dasar (Perspektif Kritis Cultural Studies), Seri Kahyangan Indonesia, Denpasar.
Titib, I Made, 1996, Veda Sabda Suci : Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita , Surabaya.
Titib, I Made. 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak (Perspektif Agama Hindu).Ganeca Exact: Bandung.
I Made Titib, 2009, Filosofi Pendidikan Hindu Menurut Veda, disampaikan dalam Seminar Internasional, diselenggarakan oleh Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, 12 September  2009 bertempat di Gedung Wanita Laksmi Graha Singaraja.   
 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGIATAN PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS KPM, BUMDes, DESAIN DAN RAB

Kamis 7 Desember 2023 Pemerintah Desa Terusan Makmur dan Pemerintah Desa Terusan Mulya mengadakan kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB. Peserta Pelatihan terdiri dari Perangkat Desa, BUMDes, KPM dan Kader Posyandu. Jumlah Narasumber ada 6 diantaranya:  1. HENDRANO, S.P dan RIJALI RAHMAN, S.Pd.I Judul Materi Pemahaman Administrasi BUMDes  2. YUDIANTO,S.H dan ELISE, S.P Judul Materi Pelatihan KPM dan Posyandu  3. SUYONO, S.T dan TITI YULIANTI, S.Pd.I Judul Pelatihan materi Desain RAB kegiatan pelatihan ini dilaksanakan di Aula Kantor Desa Terusan Makmur.  harapan PLH. Kades Terusan Makmur Bapak Anang Amunddin, S.Pd terhadap seleruh pesesta pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB yaitu  1. dapat menambah pengetahuan dalam bidang masing-masing  2. dapat diterapkannya setelah mengikuti pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB ini.

DEWATA NAWA SANGA

Dewata Nawa Sanga, 9 Dewa Peguasa Mata Angin 1. Definisi Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa. 2. Penjelasan Tentang Atribut Dewata Nawasanga a. Dewa Wisnu Arah : Utara/Uttara Pura : Batur Aksara : Ang Senjata : Cakra Warna : Hitam Urip : 4 Panca Wara : Wage Sapta Wara : Soma Sakti : Dewi Sri Wahana : Garuda Fungsi : Pemelihara b. Dewa Sambhu Arah : Timur Laut/Airsanya Pura : Besakih Aksara : Wang Senjata : Trisula Warna : Biru/Abu-Abu Urip : 6 Panca Wara : Sapta Wara : Sukra Sakti : Dewi Mahadewi Wahana : Wilmana c. Dewa Iswara Arah : Timur/Purwa Pura : Lempuyang Aksara : Sang Senjata : Bajra Warna : Putih Urip : 5 Panca Wara : Umanis Sapta Wara : Redite Sakti : Dewi Uma Wahana : Gajah Putih d. Dewa

LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN

  LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar belakang Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi , yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya. Ada dua alasan mengapa para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan. Pertama, karena pendidikan bersifat normatif maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi atau sesuatu titik tolak yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif tersebut an