Langsung ke konten utama

puja tri sandhya dan kramaning sembah

KUTIPAN

PUJA TRI SANDHYA DAN KRAMANING SEMBAH

TRI SANDYA DAN KRAMANING SEMBAH
PENDAHULUAN
Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan tersebut. Tiap-tiap agama percaya dan meyakini Tuhannya dengan identitas yang berbeda-beda antara agama yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhannya, setiap umat beragama ingin berhubungan dengan Tuhannya untuk memenuhi rasa keagamaannya. Tiap-tiap agama mempunyai cara tersendiri untuk berhubungan dengan Tuhannya.
Umat Hindu meyakini Tuhannya sebagai Beliau yang tidak berpribadi/tanpa kualitas (Nirguna) dan tak terbagi atau gaib (Niskala), dan sekaligus juga sebagai Beliau Yang berpribadi atau dengan sifat (Saguna) dan seolah-olah terbagai-bagi (Sakala). Dalam Lontar Jnanasiddhanta, 122 disebutkan :
Ekatwānekatwa swalaksana Bhattāra. Ekatwa ngaranya kahidep makalaksana ng Śiwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira. Mangekalaksana Śiwa-kārana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhattāra makalaksana Caturdhā. Caturdhā ngaranya laksananiran sthūla sūksma para-sūnya.
Artinya :
Sifat Bhattara adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia yang dibayangkan bersifat Siwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattara dibayangkan bersifat Caturdha artinya sthula, suksma, para dan sunya.
Beliau sebagai Ia yang Eka (Esa), Beliau adalah Nirguna, Niskala. “Bhattara Siwa sira wyapaka, sira suksma tar kneng angen-angen, kadyangganing akasa, tan kagrhita dening manah mwang indriya” (Bhuwanakosa II, 16). Artinya : Bhattara Siwa meresapi segala, Ia yang gaib tak terpikirkan, Ia seperti angkasa, tak terjangkau oleh pikiran dan indriaya.
Sedangkan Beliau sebagai Ia yang Aneka, Beliau adalah Saguna, Sakala.
Nihan wibhaga Bhattara munggwing rikang tattwa kabeh, Sarwājña ngaranira, yan umandel ing prthiwi, Bhāwa ngaranira yan umandel ing toya, Pasupati ngaranira yan umandel ing Sanghyang Agni, Isāna ngaranira yan umandel ing bayu.
Bhima ngaranira yan heneng ākāsa, kinahanan ta sira dening Astaguna, Māhadewa ngaranira yang haneng manah, tan pāwak, Ugra ngaranira yan haneng pañca tan mātra, Rudra ngaranira yan haneng teja makūwak ahangkāra” (Bhuwanakosa III, 9, 10)
Artinya :
Inilah perincian Bhattara berada pada semua tattwa, Sarwajña namanya bila berada di tanah, Bhawa namanya bila berada di air, Pasupati namanya bila berada pada api, Isana namanya bila berada pada angin.
Bhima namanya bila berada di angkasa, dipenuhi Ia oleh Astaguna, Mahadewa namanya bila berada pada pikiran, Ugra namanya bila berada pada cahaya berbadan ahangkara.
Ketika umat Hindu ingin melakukan hubungan dengan Tuhannya (Sanghyang Widhi, secara umum ditempuh dengan cara sembahyang. Dengan melakukan hubungan dengan sembahyang kepada Sanghyang Widhi terjadi interaksi antara penyembah (Umat) dengan yang disembah (Sanghyang Widhi). Maka dengan demikian yang disembah adalah Tuhan yang berpribadi (Saguna, Sakala). Namun kadang-kadang oleh orang-orang tertentu Sanghyang Widhi dipuja sebagai Tuhan yang tidak berpribadi (Nirguna, Niskala). Hal ini adalah dalam kerangka memenuhi rasa filosofis seseorang. Maka dalam berhubungan dengan Sanghyang Widhi, umat Hindu mengenal jalan yang disebut 1) Nirwrtti Marga yaitu jalan kelepasan dengan merealisasikan Sanghyang Widhi sebagai sunya dalam dirinya (jnana dan raja marga dalam catur marga), dan 2) Prawrtti Marga yaitu jalan bakti dan karma dengan melaksanakan kewajiban hidup sebaik-baiknya sebagai persembahan kepada Sanghyang Widhi, dimana Sanghyang Widhi dipuja sebagai Ista Dewata yang direalisasikan dalam berbagai bentuk, umumnya dalam bentuk yadnya dengan berbagai aktifitas ritual/upacara dengan berbagai upakaranya.
Dengan melakukan sembahyang, berarti menempuh jalan Bhakti dan Karma Marga. Walaupun secara konseptual Catur Marga sebagai jalan yang terpisah namun dalam prakteknya antara Bhakti, Karma, Jnana dan Raja Marga tidak dapat dipisahkan.
Sembahyang dapat dilakukan dengan cara Tri Sandya dan Kramaning Sembah.
1. TRI SANDHYĀ
1.1 Pengertian
Kata Tri Sandhyā kita dapati pada beberapa sumber susastra Hindu. Diantaranya dalam kitab Agastya Parwa disebutkan “… agelema ta sirāmujā, matrisandhyā, toyasnāna, bhasmasnāna, mantrasnāna, … (Agastya Parwa 396). Dalam kitab Agastya Parwa tidak disebutkan urutan-urutan puja mantra tri sandya sebagaimana yang kita ketahui, karena kata Tri Sandhyā mengandung pengertian sebagai tiga pertemuan waktu. Kata tri artinya tiga, kata sandhya berasala dari akar kata sam (berhubungan) dan di (ditaruh) yaitu hubungan dua keadaan atau benda seperti hubungan antar waktu atau antar ruang. Sandhyā artinya hubungan antara waktu. Jadi yang dimaksud dengan Tri Sandhyā adalah pertemuan antara waktu malam dengan pagi, antara waktu pagi dengan siang dan antara waktu siang dengan malam. Pertemuan antara waktu-waktu itu dipandang sebagai waktu kritis. Agar terhindar dari bahaya dan mendapatkan keselamatan serta kerahayuan maka pada waktu-waktu kritis tersebut orang melakukan sembahyang agar Sanghyang Widhi melindungi dan memberikan keselamatan. Sehingga selanjutnya kata Tri Sandyā diartikan sebagai tiga waktu untuk berhubungan dengan Sanghyang Widhi atau tiga waktu untuk sembahyang.
1.2. Sumber
Puja Tri Sandhyā adalah merupakan hasil rumusan yang strukturnya amat serasi. Tampaknya yang merumuskan memahami hakekat sebuah mantram dan mungkin sempat berkonsultasi dengan beberapa sulinggih yang memahami tentang hal itu. Puja Tri sandhyā baru dikenal sekitar tahun 1950-an. Pada waktu itu Prof. Pandit Shastri menerbitkan buku Puja Tri Sandhyā, sebuah buku yang dicetak dengan huruf Bali dan huruf Latin yang sangat bagus pada jamannya.
Selanjutnya tidak lama setelah buku tersebut diterbitkan, menyusul diterbitkan buku Upadesa, sebagai sebuah buku yang besar jasanya dalam memperkenalkan pokok-pokok ajaran agama Hindu yang ditulis oleh Team. Dalam buku inilah juga ditulis Puja Tri Sandhyā dan pedoman sembahyang yang cukup baik.
Sebagai sebuah rumusan mantram Puja Tri Sandhyā yang terdiri dari enam (6) bait bersumber dari berbagai sumber. Bait pertama bersumber dari salah satu Mantram Gāyatrī yang terdapat dalam kitab Rg Veda, III.62.10. Pada bait mantram dalam kitab Rg Veda kata bhur bhuvah svah tidak ada. Tambahan kata bhur bhuvah svah itu terdapat dalam kitab Yajur Veda Putih, 36.3.
Mantra Gāyatrī atau Gāyatrī Mantram adalah mantram yang paling utama dan paling mulia diantara semua mantra. Ia adalah ibu mantram yang dinyanyikan oleh semua orang Hindu waktu sembahyang, sebagaimana disebutkan pada buku, The Call of Vedas:
One reason why the gāyatrī is considered to be the most representative prayer in the Vedas is that is capable of possesing “dhī,” higher intelligence which brings him knowledge, material and transcendental. What the eye is to the body, “dhī,” or intelligence is to the mind. (p. 108-1090).
Artinya :
Suatu sebab mengapa Gāyatrī dipandang dan yang mewakili segala di dalam Veda ialah karena ia adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah “dhī,” yaitu kecerdasan yang tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikianlah, “dhī,” atau kecerdasan untuk pikiran.
Bait kedua, bersumber dari salah satu dari suatu rangkaian mantram yang panjang disebut Catur Veda Sirah (Empat Veda Kepala). Catur Veda Sirah adalah salinan dari kitab Narayana Upanisad sebuah Upanisad minor (kecil). Pada mantra ini pemuja memuja Tuhan sebagai Narayana, Tuhan yang suci tanpa noda, Ia hanya tunggal tiada yang kedua.
Bait ketiga bersumber dari Siwa Astawa, puja kedua, yaitu mantram pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai sebutan Tuhan dalam berbagai-bagai sebutan. Oleh pemujanya Tuhan yang Tunggal disebut dengan banyak nama. Ia disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa. Masih banyak lagi sebutan yang lain. Namun bait ketiga dari Puja Tri Sandhyā dengan puja kedua dari Siwa Astawa ada perbedaan terutama pada baris terakhir. Bait ketiga baris terakhir pada Puja Tri Sandhya berbunyi, “purusah parikīrtitah,” (parikirtitah artinya dipanggil), sedangkan pada puja kedua baris terakhir dari Siwa Astawa berbunyi, “purusah prakŗtis tathā,” (prakrti artinya prakrti).
Bait keempat, kelima dan keenam bersumber dari kumpulan mantra yang sama yaitu Ksamamahadevastuti 2-5 (Titib, 2003 : 40), tersebar dalam Wedasanggraha. Dimana bait keempat adalah sebagai pengakuan bahwa diri serba hina dan memohon agar Tuhan melindungi dan membersihkan dari segala noda. Bait kelima, pemuja memohon ampun dan memohon agar dibebaskan dari semua papa, semua kehinaan dan dosa. Pemuja mohon untuk dijaga karena Ialah penjaga semua makhluk dan penguasa tertinggi atas segala yang ada. Bait keenam, pemuja memohon ampun atas segala dosa dari anggota badan, kata-kata dan pikiran.
1.3 Struktur
Bait demi bait dari mantram Puja Tri Sandhyā merupakan himpunan mantra, sebagai nyanyian pujaan. Setiap nyanyian pujaan pada umumnya mengandung tiga komponen yaitu : pujian, pengakuan, permohonan. Namun di beberapa bait mantra komponen kedua yaitu pengakuan kadang-kadang tidak ada. Pada mantram Puja Tri sandhyā ketiga komponen itu ada dan terstruktur secara serasi, yaitu bait pertama, kedua dan ketiga adalah pujian, bait keempat adalah pengakuan serta bait kelima dan keenam adalah permohonan.
Sebagai suatu bukti akan didapati dari sekian banyak bait-bait mantra dalam kitab Veda yang jiwa dan semangatnya sama, contohnya :
Kavi no mitrāvarunā
tuvijātā uruksayā
daksam dadhāte apasam.
Artinya :
Pendeta kami, Mitra dan Varuna, yang luas wilayahnya, yang kuat karena keberaniannya,
Karuniailah kami kekuatan yang bekerja dengan baik.
Trātāram indram avitāram handramhavehave suhavam suram indram,
hvayāmi sakram puruhūtam indram svasti no maghavā dhātvindrah.
(Rg.Veda, VI.47.11)
Artinya :
Tuhan sebagai Penolong, Tuhan sebagai Penyelamat, Tuhan yang Maha Kuasa, yang dipuja dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan Maha Kuasa, selalu dipuja, kami memohon, semoga Tuhan yang Maha Pemurah melimpahkan rahmat kepada kami.
Imā juhvānā yusmadā namobhih prati stomam sarasvati jusāsva,
tava sarman priyatame dadhānā upa stheyāma saranam na vrksam.
(Rg Veda VII.95.5)
Artinya :
Sajian ini dibuat olehmu dengan rasa hormat, katakanlah hal ini wahai Sarasvati, dan terimalah setiap doa kami, dan dengan menempatkan kami di bawah lindunganmu yang tercinta ! Semoga kami mendekatimu sebagai pohon tempat berteduh.
Dll.
Dari contoh-contoh bait mantra tersebut dapat disimpulkan bahwa jiwa dan semangat ajaran Veda ada tiga yaitu pujian, pengakuan dan permohonan.
1.4 Bentuk
Bait-bait mantra adalah puisi yang terikat oleh Metrum atau Candha. Jenis Candha ditentukan oleh jumlah suku kata pada setiap baik mantra. Ada beberapa jenis Chanda yaitu :
* Gayatri, terdiri dari 24 suku kata
* Usnih terdiri dari 28 suku kata
* Anustubh terdiri dari 32 suku kata (belakangan disebut sloka).
* Brhati terdiri dari 36 suku kata
* Pankti terdiri dari 40 suku kata
* Tristubh terdiri dari 44 suku kata
* Jagati terdiri dari 48 suku kata
Gayatri sebagai mantram pertama adalah nama sebuah Candha dari beberapa jenis Candha. Gayatri kadang disusun menjadi tiga baris dalam satu bait, dimana setiap baris terdiri dari 8 suku kata, kadang juga disusun dalam dua baris dimana baris pertama terdiri dari 16 suku kata dan baris kedua terdiri dari 8 suku kata.
Jika dicermati bait pertama mantram Puja Tri Sandhya, jumlah suku katanya tidak cocok dengan jumlah suka kata Candha Gayatri, namun ia disebut Gayatri Mantram. Kata Bhur Bhuvah Svah tidak termasuk kedalam struktur. Kata bhur bhuvah svah disebut MahaVyahrti (ucapan yang agung).
Bait kedua berbentuk prosa yang tentunya tidak terikat oleh jumlah suku kata. Sedangkan bait ketiga sampai dengan bait keenam berbentuk sloka (Candha Anustubh).
1.5 Bahasa
Bahasa mantram Puja Tri Sandhya adalah bahasa Sansekerta. Ada tiga jenis bahasa Sansekerta yaitu, Sansekerta Veda, Sansekerta Klasik dan Sansekerta Kepulauan (Hibrida). Sansekerta Veda adalah bahasanya kitab Catur Veda Samhita, Sansekerta Klasik adalah bahasanya kitab-kitab Itihasa dan Purana, dan sansekerta Kepulauan atau Hibrida adalah bahasa Sansekerta yang didapati di Jawa dan Bali terutama dalam lontar-lontar puja.
Dengan demikian bait pertama dari Puja Tri Sandya memakai bahasa Sansekerta Veda, bait kedua memakai bahasa Sansekerta Klasik, bait ketiga sampai dengan keenam memakai bahasa Sansekerta Kepulauan atau Hibrida.
1.6 Tata Cara Melaksanakan Puja Tri Sandhyā.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa Tri Sandyā baru dikenal setelah tahun 1950-an, dan setelah buku Upadesa diterbitkan Mantram Puja Tri Sandhyā semakin populer sebagai salah satu cara sembahyang terutama dikalangan kaum terpelajar. Buku-buku tentang Puja Tri Sandhyā dan buku-buku tentang pedoman sembahyang semakin banyak diterbitkan. I Gusti ketut Kaler menulis buku,”Tuntunan Muspa,” Buku-buku pelajaran di sekolah hampir semuanya memuat pelajaran Tri Sandhyā dan sembahyang.
Dalam perjalan waktu antara buku yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan kecil tentang teks, terjemahan dari mantra-mantra Tri Sandhyā itu. Maka oleh beberapa pemerhati teks Hindu, teks Puja Tri Sandhyā ditinjau ulang dengan mengadakan telaahan dan perbandingan dengan kitab Veda Sanggraha yang diterbitkan oleh PDHB tahun 1963, Stuti dan Stava oleh C.Hoykaas, Narayana Upanisad,dengan tujuan untuk mengamati bahasa dan aturan tata bahasa Sansekerta dari teks Puja Tri Sandhyā itu.
Teks Puja Tri Sandhyā kemudian direkonstruksi. Selanjutnya rekonstruksi tersebut dibahas dan dapat diterima serta ditetapkan dalam Paruman Sulinggih PHDI Bali tahun 1989.
Hasil paruman tersebut kemudian dijadikan sebagai salah satu materi Mahasabha ke VI PHDI Pusat di Jakarta tahun 1991 yang kemudian menjadi keputusan Mahasabha.
Tata cara melaksanakan Puja Tri Sandhyā
Menurut, “Keputusan Mahasabha ke VI tahun 1991.”
a. Asana
Asana berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk atau sikap. Jadi asana artinya sikap yaitu sikap sembahyang yang meliputi sikap tangan dan sikap badan. Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhyā sikap tangan adalah, Amusti Karana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan mempertemukan ibu jari tangan kanan dan tangan kiri dengan posisi tangan kanan berada dalam kenggaman tangan kiri. Selanjutnya Puja Tri Sandhyā dapat dilakukan dengan sikap berdiri (Padāsana) atau dengan duduk (Padmāsana bagi laki-laki dan Bajrāsana bagi perempuan), sesuai tempat dan situasi yang tersedia.
b. Prānāyāma
Prānāyāma artinya mengatur jalannya nafas. (Prāna artinya tenaga hidup/nafas, ayāma artinya pengendalian/pengaturan). Gunanya untuk menenangkan pikiran dan mendiamkan badan untuk mengikuti jalannya pikiran. Bila pikiran dan badan sudah tenang barulah mulai sembahyang.
Prānāyāma dilakukan dengan cara :
  • Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang namah.”
  • Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung namah.”
  • Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang namah.”
c. Karasoddhana
Yaitu pembersihan dan penyucian badan melalui tangan dengan lafalan mantram :
  • Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.” (Om bersihkanlah hamba)
  • Penyucian tangan kiri, mantramnya, “Om ati suddha mām svāhā.” ( Om lebih bersihlah hamba).
d. Mantram Puja Tri Sandhyā
1. Om bhūr bhuvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo nah pracodayāt
2. Om nārāyana evedam sarvam
yad bhūtam yac ca bhavyam
niskalańko nirañjano
nirvikalpo nirākhyātah
śuddho deva eko
nārāyano na dvitiyo
asti kaścit
3. Om tvam śivah tvam mahādevah
īśvarah parameśvarah
brahmā vişņuśca rudraśca
puruşah parikīrtitah
4. Om pāpo ham papakarmāham
pāpātmā pāpasambhavah
trāhi mām puņdarīkākşa
sabāhyābhyantarah śucih
5. Om kşamasva mām mahādeva
sarvaprāņi hitańkara
mām moca sarva pāpebhyah
pālayasva sadā siva
6. Om kşāntavyah kāyiko doşah
kşāntavyo vāciko mama
kşāntavyo mānaso doşah
tat pramādāt kşamasva mām
Om śāntih śāntih śāntih Om
Artinya :
1. Om adalah bhur bhuwah swah
kita memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan kemuliaan Sanghyang Widhi. Semoga Ia berikan semangat pikiran kita
2. Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas dari noda, bebas dari kekotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua
3. Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra dan Purusa
4. Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sanghyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba
5. Om ampunilah hamba Sanghyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sanghyang Widhi
6. Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa perkataan hamba ampunilah dosa pikira hamba, ampunilah hamba dari segala kelalaian
Om, damai damai damai, Om
2. KRAMANING SEMBAH
2.1 Pengertian
Pada mulanya tata cara sembahyang belum diatur secara pasti. Melalui Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Ajaran Hindu tahun 1982, ditetapkan tentang siapa yang boleh disembah yaitu Sanghyang Widhi, Dewa, Rsi, Leluhur/Bhatara-Bhatari, Manusia dan Bhuta. Tentang siapa boleh disembah, dirujuk buku Upadesa(1981/1982) dan buku Tuntunan Muspa karya I Gusti Ketut Kaler (1970/1971). Waktu seminar tersebut, ditetapkan istilah tata cara dan urutan atau rangkaian sembahyang disebut, “Kramaning Sembah.”
Sesuai perjalanan waktu muncul istilah Panca Sembah sebagai tata cara sembahyang, pada buku-buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh umat Hindu dengan argumentasi mereka masing-masing. Oleh karena adanya bermacam-macam istilah pada tata cara dan urutan serta sikap sembahyang yang berkembang maka melalui Mahasabha ke VI tahun 1991, ditetapkan kembali tata cara dan urutan sembahyang disebut, “Kramaning Sembah.”
Kramaning Sembah berasal dari kata krama artinya urutan yang tepat, dan sembah artinya menyembah (sembahyang).
2.2 Persiapan Kramaning Sembah
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap tangan dan sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga, kuangen dan dupa. Sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran.
Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
2.2.1 Asuci Laksana
Yaitu mengusahakan kebersihan dan kesucian. Kebersihan berhubungan dengan kebersihan badan yang dapat diupayakan dengan mandi dan keramas. Kesucian berhubungan dengan nilai religius yang biasanya diupayakan dengan malukat dan lain-lain.
2.2.2 Pakaian
Pakaian waktu sembahyang agar diupayakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar, warna yang menjolok hendaknya dihindari. Pakaian harus disesuaikan dengan drsta setempat supaya tidak menarik perhatian orang.
2.2.3 Sikap Duduk dan Sikap Tangan
Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati. Sikap duduk yang baik untuk laki-laki adalah Padmasana yaitu sikap duduk bersila dengan badan tegak lurus. Bagi wanita sikap duduk yang baik disebut Bajrasana yaitu sikap duduk besimpuh dengan dua tumit kaki diduduki dan badan tegak lurus.
Sikap tangan yang baik waktu sembahyang adalah sikap Anjali atau Cakuping Kara Kalih yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun, dimana pada waktu sembahayang memakai bunga atau kuangen, dijepit pada ujung jari tengah.
2.2.4 Sarana Sembahyang (bunga, kuangen, dupa)
Bunga dan Kuangen adalah lambang kesucian (Sekare pinaka katulusan pikayunan suci: dalam lontar Yadnya Prakerti) serta simbul Sanghyang Widhi dan manifstasi-Nya. Jika dalam persembahyangan tidak ada Kuangen dapat diganti dengan bunga. Oleh karena itu patut diupayakan bunga yang segar, bersih dan harum. Dalam kitab Agastya Parwa disebutkan ada beberapa bunga yang tidak baik dipersembahkan atau dipakai sebagai sarana persembahyangan.
Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara : kembang uleren, kembang ruru tan inuduh, kembang laywan, laywan ngaranya alewas mekar, kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.”
Artinya :
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.
Apinya dupa adalah simbul Sanghyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sanghyang Widhi. Setiap yadnya dan pemujaan tidak luput dari penggunaaan api.
2.3 Urutan-urutan Sembah
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Pemangku/Pinandita atau Sulinggih adalah seperti berikut :
1. Sembah puyung
Mantramnya : “Om ātma tattvātmā suddha mām svāhā.”
Artinya : Om Ātma, Ātmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.
2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sanghyang Aditya, dengan sarana bunga.
Mantramnya : “Om ādityasāparam jyoti,
rakta teja namo’stute,
svetapańkaja mdhyastha,
bhāskarāya namo’stute.”
Artinya : Om sinar surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah, hormat kepada-Mu,
Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,
hormat pada-Mu pembuat sinar.
3. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan, sarana kwangen.
Mantramnya : “Om nama deva adhisthanāya,
Sarva vyāpi vai śivāya,
Padmasāna ekapratisthāya,
Ardhanareśvaryai namo’namah.”
Artinya : Om kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,
kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana-mana,
kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.
Catatan :
Ista Dewata artinya dewata yang diingini hadir-Nya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah perwujudan Sanghyang Widhi dalam berbagai-bagai wujud-Nya. Seperti Brahma, Visnu, Isvara, Sarasvati, Gana dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Ista Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja adalah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa, pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan Stawa-Stawa yang lain juga.
Contoh : Puja atau stawa yang dapat diucapkan pada waktu hari Saraswati,
Om Sarasvatinamastubhyam,
Varade kāma rupini,
Siddhārambham karisyāmi,
Siddhir bhavatu me sadā.”
Artinya : Om Hyang Sarasvati dalam wujud-Mu sebagai penganugrah berkah, terwujud dalam bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lalukan selalu sukses atas waranugraha-Mu.
“Om Brahma-putri mahā-devi,
Brahmanyā Brahma-nandini,
Sarasvati samjñayani,
Prayānāya Sarasvati.”
Artinya : Engkau adalah Sakti Deva Brahma, ya Mahadewi, Engkau adalah pancaran kemuliaan Deva Brahma, Engkau adalah kumpulan segala kebijaksanaan, segala puja dan puji tertuju padaMu, ya Sarasvati.
Untuk pengastawa atau puja yang lain lihatlah buku “Doa sehari-hari menurut Hindu,” oleh Drs. I Gusti Made Ngurah, buku Tri Sandhya Sembahyang dan Berdoa,” oleh Dr. Made Titib dan buku lain yang sejenis.
Pada saat persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang dipuja adalah Sanghyang Siwa yang berada dimana-mana, atau juga di tempat suci tertentu yang tidak diketahui Ista Dewata yang distanakan disana maka mantram yang diucapkan adalah mantram nomor tiga tersebut.
4. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Pemberi Anugrah, sarana kuangen.
Mantramnya : “Om anugraha manohara,
devadattānugrahaka,
arcanam sarvapūjanam,
namah sarvānugrahaka.
Deva devi mahāsiddhi,
yajñānga nirmalātmaka
laksmī siddhisca dīrghāyuh,
nirvighna sukha vŗddhisca.”
Artinya : Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewa, pujaan semua pujaan, hormat kepada-Mu pemberi semua anugrah.
Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi yang suci, kebahagiaan, kesempurnaan panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan.
5. Sembah Puyung.
Mantramnya : “Om, deva suksma paramācintyāya nama svāhā.”
Artinya : Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi, yang naha gaib.
Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirta dan bija.
2.4 Beberapa Catatan Penting.
1. Kuangen
Kuangen adalah nama salah satu sarana sembahyang. Kuangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daun-daunan, hiasan dari janur yang disebut sampian kuangen (cili), bunga, uang kepeng dan porosan silih asih. Adapun yang dimaksud porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga jika digulung tampak bolak-balik, yaitu yang satu tampak bagian perutnya dan yang satu lagi tampak punggungnya.
Dalam sembahyang kuangen simbul Omkara/Ongkara.
· Cili/Sampian Kuangen yang berbentuk lancip adalah simbul Nada
· Uang kepeng adalah simbul Windu
· Potongan permukaan yang melingkar sedikit lancip simbul Ardhacandra
· Kojong (diusahakan lipatannya tiga kali) adalah simbul O kara
Omkara adalah aksara suci Sanghyang Widhi. Dengan demikian kuangen adalah simbul Sanghyang Widhi. Oleh karena itu pada waktu sembahyang memakai sarana kuangen hendaknya sedemikian rupa sehingga muka kuangen berhadap-hadapan dengan muka penyembahnya. Hal ini dimaksudkan agar penyembah dengan yang disembah berhadap-hadapan. Yang merupakan muka kuangen adalah bagian letak uang kepengnya.
2. Tirtha
Tirtha adalah air suci yaitu air yang telah disucikan dengan suatu upacara tertentu. Pada umumnya tirtha diperoleh melalui dua cara yaitu :
a) Dengan cara memohon dihadapan pelinggih Ida Bhatara dengan upacara tertentu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya disebut tirtha wangsuh pada atau banyun cokor.
b) Dengan cara membuat (ngreka) yang dilakukan dengan mengucapkan puja mantra tertentu oleh Beliau yang mempunyai kewenangan untuk itu (Sulinggih dan atau Pemangku/Pinandita). Tirtha yang diperoleh dengan cara ini antara lain adalah tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirta durmanggala, dan sebagainya.
Adapun tirta yang merupakan waranugraha setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikkan di kepala tika kali, diminum tiga kali dan dibasuhkan di wajah tiga kali. Hal ini adalah sebagai simbolis penyucian Tri Kaya menjadi Tri Kaya Parisuddha (Kayika, Wacika, Manacika Parisuddha), sehingga terbebas dari dari segala kotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya.
3. Wija atau Bija
Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai matirtha, yang merupakan rangkaian terakhir dari suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana. Kadangkala juga dicampur dengan kunir sehingga berwarna kuning, maka disebutlah wija atau bija kuning. Idealnya supaya diupayakan beras galih yaitu beras utuh yang tidak patah (aksata). Wija atau bija adalah lambang Kumara yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam pada diri seseorang. Mawija atau mabija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an dalam diri. Benih tersebut akan tumbuh berkembang apabila ladangnya bersih dan suci. Maka itu mawija dilakukan setelah matirtha.
Menurut kitab Bhagawad Gita bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan (daiwi sampad) dan sifat keraksasaan (asuri sampad).Menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat tersebut bersemayam di dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dan lubuk hati maka disimbulkan dengan menempelkan bija tersebut di tengah kedua kening serta menelannya. Dan yang patut juga diingat wija atau bija disamping sebagai lambang Kumara juga sebagai sarana persembahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEGIATAN PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS KPM, BUMDes, DESAIN DAN RAB

Kamis 7 Desember 2023 Pemerintah Desa Terusan Makmur dan Pemerintah Desa Terusan Mulya mengadakan kegiatan Pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB. Peserta Pelatihan terdiri dari Perangkat Desa, BUMDes, KPM dan Kader Posyandu. Jumlah Narasumber ada 6 diantaranya:  1. HENDRANO, S.P dan RIJALI RAHMAN, S.Pd.I Judul Materi Pemahaman Administrasi BUMDes  2. YUDIANTO,S.H dan ELISE, S.P Judul Materi Pelatihan KPM dan Posyandu  3. SUYONO, S.T dan TITI YULIANTI, S.Pd.I Judul Pelatihan materi Desain RAB kegiatan pelatihan ini dilaksanakan di Aula Kantor Desa Terusan Makmur.  harapan PLH. Kades Terusan Makmur Bapak Anang Amunddin, S.Pd terhadap seleruh pesesta pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB yaitu  1. dapat menambah pengetahuan dalam bidang masing-masing  2. dapat diterapkannya setelah mengikuti pelatihan Peningkatan Kapasitas KPM, BUMDes, Desain dan RAB ini.

DEWATA NAWA SANGA

Dewata Nawa Sanga, 9 Dewa Peguasa Mata Angin 1. Definisi Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa. 2. Penjelasan Tentang Atribut Dewata Nawasanga a. Dewa Wisnu Arah : Utara/Uttara Pura : Batur Aksara : Ang Senjata : Cakra Warna : Hitam Urip : 4 Panca Wara : Wage Sapta Wara : Soma Sakti : Dewi Sri Wahana : Garuda Fungsi : Pemelihara b. Dewa Sambhu Arah : Timur Laut/Airsanya Pura : Besakih Aksara : Wang Senjata : Trisula Warna : Biru/Abu-Abu Urip : 6 Panca Wara : Sapta Wara : Sukra Sakti : Dewi Mahadewi Wahana : Wilmana c. Dewa Iswara Arah : Timur/Purwa Pura : Lempuyang Aksara : Sang Senjata : Bajra Warna : Putih Urip : 5 Panca Wara : Umanis Sapta Wara : Redite Sakti : Dewi Uma Wahana : Gajah Putih d. Dewa

LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN

  LANDASAN FILOSOFI PENDIDIKAN BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar belakang Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya, relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi , yaitu upaya memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya. Ada dua alasan mengapa para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan. Pertama, karena pendidikan bersifat normatif maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi atau sesuatu titik tolak yang bersifat normatif pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif tersebut an