KEBENARAN ILMU MENURUT PANDANGAN
POSITIVISME
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Apakah kriteria kebenaran? Apakah
kriteria bahwa suatu pernyataan adalah benar?; Suatu pernyataan adalah benar
jika sesuai dengan fakta; A criterion of truth is “correspondence with
reality.”; Ini adalah teori korespondensi. Menurut teori ini,“suatu pernyataan
adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi
(berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut” (Jujun, 1984:
57). Dalam proses pembuktian secara empiris (pengumpulan fakta-fakta) untuk
mendukung kebenaran suatu pernyataan
Apakah kriteria kebenaran?: Suatu
pernyataan adalah benar jika berhubungan secara logis dengan pernyataan yang
lain; Ini adalah teori koherensi. Menurut teori ini, “suatu pernyataan dianggap
benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar” (Jujun, 1984: 55). Termasuk ke dalam teori ini adalah
kebenaran matematika (mathematical truth) dan logika deduktif (Scruton, 1996:
239)
1.2. RUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan pada
latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud teori tentang kebenaran
2. Dari mana asal dan gagasan positivisme logis
3. Apa yang dimaksud dengan positivisme didalam ilmu pengetahuan
2. Dari mana asal dan gagasan positivisme logis
3. Apa yang dimaksud dengan positivisme didalam ilmu pengetahuan
1.3 TUJUAN PENULISAN
1.
Mengetahui teori tentang kebenaran
2. Mengetahui dan memahami apa itu asal dan gagasan positivisme logis
3. Memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan
2. Mengetahui dan memahami apa itu asal dan gagasan positivisme logis
3. Memahami tentang positivisme di dalam ilmu pengetahuan
1.4. METODE PENGUMPULAN
DATA
Dalam penyusunan makalah ini, perlu
sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam
penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang
pertama dengan membaca buku sumber, kedua browsing di
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN KEBENARAN
Maksud dari hidup ini adalah untuk
mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah
kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan
Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan
yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2
pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu
pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i,
1995).
Dalam bahasan ini, makna “kebenaran”
dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini
mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif),
sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan
ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu
itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara,
dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian
keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran
terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985:235).
Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16)
yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang
disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang
diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini
kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar
saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini
tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan kata
lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia.
Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak
henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.
2.2.PENGERTIAN POSITIVISME
Teori Positivisme Logikal Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang mengalami banyak perubahan mendasar dalam
perjalanan sejarahnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Francis
Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya
pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh
menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus
melakukan observasi atas hukum alam.
Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara mutlak
sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust
Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan
sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk
menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak
Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan
fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai
tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta
hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena. Pada
tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi
Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris
abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume
dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi
empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan
eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan
maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran.
Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama
dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme
syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni
predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu
sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya
menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses
observasi dan pembuktian Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop ? salah
seorang anggota dari Lingkaran Wina ? dalam suatu risalah berjudul
"Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat
yang mengungkapkan perasaan(affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau
pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat- kalimat perintah,
metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut
tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan
proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong) Kaum Positivisme, seiring dengan
perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak
menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu
proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran
proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna)
proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat
banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar),
karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam
bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas ?
dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan ? tetapi hanya
sebatas pemuasan akal. name="_ednref18">[18] Kesimpulan dari semua
pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena
tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai
makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan
bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka
tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.
BAB III
KEBENARAN ILMU MENURUT PANDANGAN POSITIVISME
3.1. TEORI TENTENG KEBENARAN
Teori Tentang Kebenaran Beberapa teori
telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran yang dimaksud.
Beberapa teori itu adalah:
A.Teori Korespondensi :
"Kebenaran/keadaan benar itu
berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa
yang sungguh merupakan halnya/faktanya" (L. O. Kattsoff)
Jadi berdasarkan teori korespondensi
ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara
preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi
tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka
preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
B.
Teori Konsistensi :
"Kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan
realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri " (A.C.
awing, The Fundamental Question of Philosophy).
Teori konsistensi melepaskan hubungan
antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu
putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui
kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas,
tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan
dianggap benar. Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv,
dan putusan kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka
sebuah putusan baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan
benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
C.
Teori Pragmatis :
"Suatu preposisi adalah benar
sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied);
berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut
teori tersebut
" (Charles S. Baylin).
Menurut teori pragmatis, “kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar,
jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis bagi kehidupan manusia” (Jujun, 1984: 58-9). Dalam pendidikan, misalnya
di IAIN, prinsip kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa
pada masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya
lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan”
atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis
tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau
dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice.
We act as if there were a God” (James, 1982: 51-55). Teori pragmatis
meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada.
Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut
sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan.
Sedangkan teori kebenaran menurut
pandangan positiveme, Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis,
empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang
berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa
filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat
memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah
benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Secara umum, para penganut paham
positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis
terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa
semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan
fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,
materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Kebenaran menurut pandangan
positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna
jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris.
Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan,
tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Di dalam filsafat, positivisme
sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber
utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak
bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara
inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting
metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari Di dalam positivisme, valid
tidaknya suatu pengetahuan validitas metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia,
dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang
berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan,
satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode
ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat
universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap
tidak mencukupi.
Jadi, yang dimaksud dengan kebenaran
menurut pandangan positivisme adalah kebenaran yang pernah dialami oleh pancaindera(empiris),
yang realistis dan memiliki fakta-fakta yang sebenarnya. Aliran ini tidak
meyakini hal-hal yang berhubungan dengan metafisika ataupun gaib yang tidak
disertai dengan fakta-fakta yang ada. Aliran ini hanya meyakini paham-paham
realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Manusia adalah mahluk berfikir yang
dengan itu menjadikan dirinya ada. Prof. Dr. R.F Beerling, seorang sarjana
Belanda mengemukakan teorinya tentang manusia bahwa manusia itu adalah mahluk
yang suka bertanya. Dengan berfikir, dengan bertanya, manusia menjelajahi pengembaraannya,
mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya bahkan kemudian sampai pada
hal-hal lain yang menyangkut asal mula atau mungkin akhir dari semua yang
dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang
sedikit berbeda dengan hewan. Sebagaimana Aristoteles, filsuf yunani yang lain,
mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat,
yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reason). W.E
Hacking, dalam bukunya What is Man, menulis bahwa: "tiada cara penyampaian
yang meyakinkan mengenai apa yang difikirkan oleh hewan-hewan, namun agaknya
aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berfikir dari hewan manapun. Ia
menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis sejarah......."
William P. Tolley, dalam bukunya
Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are
endless,....what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god ?
Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud
dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. ....Mungkin saja ia adalah anggota
marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia idea dan nilai.. .."
Dengan menempatkan manusia sebagai
hewan yang berfikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian
bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan
dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan fikirannya mengembara dan
akhirnya bertanya. Berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban,
mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan
Tuhan adalah mencari
Sulit untuk mengatakan apakah ketiga
teori tentang kebenaran tersebut diatas adalah bertentangan atau saling
melengkapi. Namun yang pasti, seharusnya kebenaran tidaklah menjadi klaim salah
satu golongan saja. Sebagaimana Harold H. Titus mengatakan "The way of
knowledge may be many rather then one ". Proses berfikir tidak boleh
berhenti pada satu hal yang kelihatannya sudah pantas untuk diyakini, karena
ketika keyakinan akan suatu obyek mulai tumbuh, maka seiring dengan itu proses
berfikir tentang obyek tersebutpun akan berhenti. Keyakinan adalah penjara kebebasan
berfikir, dan tulisan inipun dibuat agar pembaca terus berfikir.
Marxis, dalam sebuah penjelasannya
mengungkapkan "apabila sensasi kita, persepsi kita, konsep dan teori kita
bersesuaian dengan realitas obyektif, apabila itu semua mencerminkannya dengan
cermat, maka kita katakan semua itu benar; pernyataan, putusan dan teori yang benar
kita sebut kebenaran".
3.2. AGAMA
Golongan atheis menuduhkan pernyataan
yang kedua bagi agama- agama. Sementara disisi lain, kebenaran agamapun masih
menjadi klaim dan rebutan masing-masing pemeluknya. Masih sering terdengar
ungkapan kesombongan dari pemeluk suatu agama bahwa agamanya adalah yang
terbaik dan paling benar, yang ia sendiri lupa bahwa seharusnya kebenaran
tersebut hanyalah menjadi milik Tuhan yang ia puja. Bahkan ada kesengajaan
secara sistemik mengajarkan kepada pemeluknya tentang perbedaan agama-agama.
Ada yang disebut agama langit (samawi) dan ada agama bumi. Agama samawi adalah
agama yang diwahyukan oleh Tuhan (tentu saja dengan penjelasan lebih lanjut
bahwa satu-satunya agama samawi adalah agama yang mereka anut). Sedangkan agama
bumi adalah agama yang dilahirkan oleh cita-karsa atau kebudayaan
manusia.....dan menjadi sangat memprihatinkan ketika faham tersebut akhirnya
menghegemoni pemeluknya sampai menghilangkan sisi logika yang seharusnya
menjadi ciri khas setiap manusia. Inilah yang penulis maksud diatas, keyakianan
adalah penjara kebebasan fikiran sebagai sesuatu hal yang berbahaya.
korespondensi antara pernyataan dalam ayat-ayat suci dengan fakta dan realitas,
sebab akan selalu saja ada hal yang sulit dijelaskan dengan fakta tetapi harus
diyakini, meskipun tidak selamanya demikian. Itulah salah satu prinsip theologi
yang tak bisa dihindarkan. Sementara ketika kita mencoba menerapkan teori
kebenaran konsistensi, menjadi sangat sulit karena putusan sebelumnya akan
selalu dapat diragukan/dibantah, sehingga tidak dapat menjadi acuan yang cukup
untuk membuahkan putusan-putusan baru. Putusan-putusan sebelumnya juga berupa
konsep theologi.
Mungkin yang paling menarik adalah
teori pragmatis. Kelihatannya dengan teori yang cukup radikal ini (berani
membuang fakta, realitas dan putusan sebelumnya) kita dapat menemukan sesuatu
yang sedikit memuaskan (satisfies); "Suatu preposisi adalah benar
sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied);
berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut
teori tersebut " Pertanyaannya sekarang, apakah kita merasa agama yang
kita anut berguna atau memuaskan buat kita? (tentu saja penilaian ini menjadi
sangat subjektif). Bila jawabannya ya, maka agama tersebut adalah sebuah
kebenaran, namun sebaliknya jika jawabannya tidak, maka agama yang kita anut
bukanlah kebenaran.
Kedengarannya sebuah pernyataan yang
terlalu prematur dan mengada-ada. Namun sekali lagi, tulisan ini hanya dibuat
dengan asumsi bahwa yang membacanya pastilah manusia, yang menurut uraian
berbagai ahli dibagian awal tulisan ini disebut sebagai mahluk yang selalu
berfikir, bertanya dan berusaha untuk mencari kebenaran. Termasuk mencari makna
benar dari kebenaran itu sendiri. Apakah kita sudah menyadari hakikat diri kita
sendiri, kerendah-hatian ataupun kesombongan kita ? Maka teruslah berfikir,
tanpa harus menghilangkan keyakinan- keyakinan yang sudah ada. Hanya berfikir
jernih terhadap sesuatu yang telah diyakini bukanlah sesuatu yang tabu apalagi
dosa. Semoga kita masih menjadi manusia yang tak segan untuk berfikir dan
bertanya. Manusia hanya berhak berteori dan berusaha mencari kebenaran.
Mazhab Positivisme mendapatkan
kritikan dan sanggahan yang berat dari pendukung-pendukungnya sendiri, seperti
Wittgenstein dan Poper, dibawah ini akan diungkapkan sebagian dari
kritikan-kritikan mereka: Teori evolusi dan tiga tahapan dari Agust Comte sama
sekali tidak memiliki bukti sejarah yang otentik dan argumen keilmuan yang
akurat, landasan ketidakbenaran teori tersebut adalah karena menghubungkan
tahapan-tahapan sejarah dari sistem masyarakat Eropa pada zaman itu dan
kemudian menggeneralisasikan pada seluruh tahapan sejarah dunia. Di samping
itu, dalam filsafat ilmu kontemporer para ilmuwan telah membahas dan mengkaji
tentang kebutuhan ilmu terhadap filsafat dan pengaruh metafisika terhadap
teori-teori ilmu.
Demikian pula asas Positivisme tentang
tolok ukur kebenaran proposisi yang menetapkan bahwa proposisi hanya memiliki
makna (kebenaran) apabila dapat dieksperimenkan dan diobservasi. Dan proposisi-proposisi
yang non-empiris dikatakan tidak bermakna sebenarnya tidak berangkat dari asas
analisis dan tautologi (kebenaran tampak dari dirinya sendiri) dan juga bukan
berdasarkan sintetis yang dapat dibuktikan dengan penyaksian dan eksperimen.
Kaum Positivisme memandang bahwa seluruh proposisi-proposisi metafisika tidak bermakna;
padahal sebagian dari proposisi tersebut bersifat analitik, seperti: setiap
akibat membutuhkan sebab; sedangkan menurut mereka proposisi-proposisi analitik
adalah bermakna. Menurut mazhab ini, secara prinsipil proposisi-proposisi agama
tidak sampai pada tahapan yang benar dan bohong, oleh karena itu, penegasian
benar dan bohong dari pendukung mazhab ini yang dinisbahkan terhadap
proposisi-proposisi agama adalah tidak bermakna. Kritikan kita yang paling
mendasar terhadap Positivisme adalah menyangkut masalah-masalah yang prinsipil dan
berasas. Di samping kita mengakui kebenaran metode empiris juga memandang sah
metode logikal dan rasional dalam meraih makrifat. Kita memandang benar semua
metode logikal, rasional, syuhudi, naqli (teks suci) dan sejarah. Setelah kami
menampilkan dua bentuk pendekatan dan teori terhadap bahasa agama yang terdapat
dalam teologi dan filsafat Kristen dan Barat, untuk tidak larut dalam
pembahasan yang berkepanjangan, maka kami cukupkan pengenalan terhadapnya
dengan menggunakan dua pendekatan dan teori tersebut. Kendatipun pada hakikatnya
pembahasan bahasa agama yang ada pada teologi dan filsafat Kristen dan Barat
ini adalah jauh lebih luas serta sangat kompleks (masih terdapat berbagai
aliran dan pandangan, seperti teori analitik bahasa, teori simbolik, teori
permainan bahasa (language game) dan?), bahkan boleh dikatakan bahwa hingga
sekarang ini, pembahasan tersebut belum tuntas dan masih belum ditemukan
pemecahannya yang akurat yang bebas dari berbagai kelemahan dan kritikan.
Adapun dalam teologi dan filsafat Islam meskipun pembahasan ini tidak begitu
luas dan tidak terdapat berbagai aliran dan pandangan, akan tetapi berkat
kemurnian dan keorisinalan ajaran Islam (kitab suci al-Qur'an) serta ilham dan
petunjuk yang didapatkan oleh para teolog dan filosof Islam dari kitab suci
tersebut sehingga menyebabkan pandangan dan pemikiran mereka dalam masalah ini
mengarah pada kesatuan dan keselarasan universal (misalnya mereka berpandangan
bahwa proposisi-proposisi agama adalah bermakna), walaupun masih terdapat
perbedaan secara partikular, misalnya perdebatan tentang sifat-sifat Tuhan dan
sifat-sifat makhluk-Nya apakah bersifat homonim atau univokal.
Tokoh-tokoh yang menganut paham
positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath,
dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran
Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
3.3. ASAL DAN GAGASAN POSITIVISME LOGIS
Secara umum, para penganut paham
positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis
terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa
semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan
fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham
realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis
yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang
menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan
hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi
dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara
empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak
memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
3.4. KRITIK
Para pengkritik Positivisme Logis
berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri
tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori
tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri
tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam
hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif
(misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif
(misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya,
namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif
(misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif
(misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus
Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung
(Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif
dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah
dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas
Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang
tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan
yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak
bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa,
karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu
akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu
tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai
ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat
dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
3.5. POSITIVISME DI DALAM ILMU PENGETAHUAN
Buku Mikhael Dua ini tampaknya lebih
mau menanggapi isu pertama, yakni suatu refleksi terhadap logika internal ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, seluruh buku ini bisa dilihat sebagai pembongkaran
internal analitis terhadap paradigma posivitisme yang, terutama di Indonesia,
tampaknya masih melekat di dalam asumsi dasar para ilmuwan kita.
Di dalam filsafat, positivisme
sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber
utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak
bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu
secara inderawi.
Yang menjadi ciri khas dari
positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Di
dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan dilihat dari validitas
metodenya.
Dengan demikian, pengetahuan manusia,
dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang
berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan,
satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode
ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat
universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap
tidak memadai.
3.6. KRITIK TERHADAP POSITIVISME
Yang juga dikritik oleh Mikhael Dua
adalah suatu aliran filsafat yang disebut sebagai positivisme logis, atau juga
disebut sebagai positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang
berpendapat bahwa “tugas utama filsafat adalah berpikir secara positivistis dan
memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris” (hal. 31).
Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael
Dua tampak selalu ‘bertegangan’ dengan paradigma positivisme ini, baik secara
jelas maupun secara implisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam
filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl
Popper dengan teori falsifikasinya (hal. 51-80), Hempel (hal. 83-105), Thomas Kuhn
(hal. 109-137), dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh
genderang perang terhadap positivisme!
Lalu, apa implikasi dari refleksi ini
bagi kehidupan manusia secara keseluruhan? Setidaknya, ada dua. Yang pertama,
kritik terhadap positivisme logis maupun positivisme klasik hendak
menyelamatkanmanusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya
ke dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata,
sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dialektis
mampu mencakup keseluruhan (hal. 226).
Yang kedua, refleksi
yang dilakukan Mikhael Dua ini juga dapat membantu kita untuk
menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan
manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “Tidak ada sebuah
teori”, demikian tulisnya, “yang berdiri sendiri tanpa dilihat dalam kerangka
dialektis tersebut… dengan teori-teori yang lain.” (hal. 240)
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah
bagian dari totalitas kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput
dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkan manusia itu sendiri.
Refleksi metodologis terhadap ilmu pengetahuan sangatlah perlu, sehingga kita
bisa secara kritis menanggapi berbagai isu –isu yang tentang ilmu pengetahuan yang
ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmiah,
sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia.
BAB IV
KESIMPULAN
Kebenaran menurut
pandangan positivisme adalah dikatakan benar apabila sesuai kenyataan, dan ada
fakta pendukungnya serta bersifat empirisme. Didalam filsafat, positivisme
sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber
utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak
bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu
secara inderawi.
Secara umum, para penganut paham
positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis
terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa
semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan
fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham
realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
4.1. Saran
Di dalam penulisan makalah ini, penulis
mengharapkan agar bisa beguna bagi kita semua, meskipun didalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karenan itu, penulis
mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak,
agar didalam penulisan makalah untuk yang ke depannya lebih sempurna. Atas
kritik maupun sarannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Suriasumantri, Junjun S. 2003.
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta
Komentar
Posting Komentar